MAKALAH POLITIK HUKUM
TENTANG
TINJAUAN YURIDIS TENTANG PENERAPAN/PENGGUNAAN
TEORI MATERIL DALAM PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM
Disusun oleh :
KHAIRUL UMAM
13/356307/PHK/07926
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS GAJAH MADA
2013
KATA PENGANTAR
Puji beserta syukur penyusun ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat, taufik dan hidayah-Nya. sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Tinjauan Yuridis Tentang Penerapan/Penggunaan Teori Materil dalam Pembentukan Produk Hukum’’ ini. Sholawat serta salam, senantiasa kita haturkan kepada panglima para mujahid, Nabi Muhammad SAW.
Penyusun menyadari dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan (no body perfect). Untuk itu, penyusun mengharapkan masukan, kritik maupun saran demi kesempurnaan makalah ini. Akhirnya, semoga Allah selalu meridhai segala amal usaha kita semua, Amin Ya Rabbal Alamin.
Yogyakarta, 14 November 2013
Penyusun,
Khairul Umam
MOTTO
“Katakanlah: "Kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula).”(QS. Al-Kahfi (18):109)
“je me presse de rire, de peur d’etre oblige’ d’en pleurer”
Aku paksa diriku untuk menertawakan segalanya,
sebab takut kalau terpaksa menangis karena segalanya.
(Pierre Agustin Beaumarchais)
jika fisikmu lelah maka istirahatlah
jika batinmu lelah maka ibadahlah.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam undang-undang dasar 1945 pasal 1 ayat 3 sengcara tegas dinyatakan, bahwa negara republik Indonesia adalah negara hukum. Ein Rechtstaat, a State based on Law, a State governed by Law. Itu berarti, hukum bukanlah produk yang dibentuk oleh lembaga-lembaga tinggi negara saja melainkan juga yang mendasari dan mengarahkan tindakan-tindakan lembaga-lembaga negara tersebut. hukum adalah dasar dan pemberi petunjuk bagi semua kegiatan kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan.
Oleh karena itu, dalam membentuk suatu produk hukum yang baik hendaknya memperhatikan dua aspek yang dalam hukum sering dipertetangkan, yaitu hukum yang dibuat oleh penguasa dan hukum yang dibuat atau tumbuh dan berkembang di masyarakat. Sebagaimana yang dikatakan oleh Pospisil bahwa hukum itu akan baik apabila materinya sebanyak mungkin diambil dari masyarakat, hanya luarnya saja yang diberi bentuk Authority Law. Dengan demikian tujuan dari hukum yaitu keadilan, kemanfaatan, kepastian hukum dan ketertiban dapat tercapai karena masyarakat sebagai orang yang akan menjalankan hukum dari penguasa akan merasa menjalankan hukumnya sendiri.
Harus diakui bahwa di Indonesia pembuat kebijaksanaan memiliki kedudukan sosial yang berbeda dengan orang-orang yang menjadi sasaran kebijaksanaan tersebut, bahkan posisi pembuat kebijaksanaan lebih strategis dan menentukan. Ini berarti mereka dapat leluasa menjatuhkan pilihannya pada sistem hukum modern sebagai legitimasi, sedangkan hal itu tidak selalu sejalan dengan kesiapan masyarakat untuk menerimanya. Kondisi yang demikian mengakibatkan apa yang telah diputuskan melalui hukum tidak dapat dilaksanakan dengan baik dalam masyarakat karena tidak sejalan dengan nilai, pandangan, dan sikap yang telah dihayati oleh masyarakat. Perkembangan yang terjadi di Indonesia dapat dilihat bahwa struktur sosial bangsa ternyata tidak sesuai dengan hukum modern yang dipilih oleh penguasa sehingga berakibat banyak terjadi kepincangan pelaksanaan hukum modern itu sendiri.
Menurut Lon Fuller, ada 8 prinsip legalitas yang harus diikuti dalam membuat hukum meliputi :
1. Harus ada peraturannya terlebih dahulu;
2. Peraturan itu harus diumumkan;
3. Peraturan itu tidak boleh berlaku surut;
4. Perumusan peraturan harus dapat dimengerti oleh rakyat;
5. Hukum tidak boleh meminta dijalankannya hal-hal yang tidak mungkin;
6. Diantara sesama peraturan tidak boleh terdapat pertentangan satu sama lain;
7. Peraturan harus tetap dan tidak boleh sering diubah-ubah;
8. Harus terdapat kesesuaian antara tindakan para pejabat hukum dengan peraturan yang telah dibuat.
Dalam pembentukan suatu produk hukum atau Keputusan Tata Usaha Negara, terdapat sebuah metode atau teori yang dikenal dengan Legal Drafting Theory, yaitu: suatu teori atau metode yang menjelaskan mengenai bagaimana menciptakan produk hukum yang baik. Oleh karena itu, penyusun ingin membahas lebih dalam mengenai teori tersebut, khususnya yang berkaitan dengan Teori Materil dalam Pembentukan Produk Hukum.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, penyusun bermaksud membahas lebih lanjut rumusan masalah berikut “Tinjauan Yuridis Tentang Penerapan/Penggunaan Teori Materil dalam Pembentukan Produk Hukum” ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Metode Pembuatan Produk Hukum Yang Baik (Legal Drafting Theory)
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam membuat suatu produk hukum, yaitu: isi, bentuk dan filosofi yang mendasari produk hukum itu dibuat. Untuk menjawab semua persoalan itu, terdapat 3 teori yang relevan untuk dijadikan pedoman dalam membentuk suatu produk hukum agar produk hukum yang dihasilkan menjadi produk hukum yang baik.
Adapun ketiga teori tersebut, yakni:
1. Teori Materiil
Teori ini disampaikan oleh Leopold Pospil, seorang sarjana dari Amerika Latin yang menyatakan dalam bukunya “Anthropologycal of Law” bahwa hukum dimanapun terpecah menjadi 2, yaitu:
a. Authoritarian Law
Yakni hukum dari penguasa.
Contoh dari hukum ini adalah peraturan perudang-undangan dan peraturan tertulis lainnya.
b. Common Law
Yakni hukum yang dibuat atau tercipta dari masyarakat sendiri (hukum yang hidup di dalam masyarakat). Contoh dari hukum ini adalah hukum adat atau hukum yang tidak tertulis
Kedua kelompok hukum di atas, masing-masing memiliki keunggulan dan kelemahan. Dimana keunggulan dan kelemahan tersebut berbanding terbalik. Keunggulan dan kelemahan tersebut adalah sebagaimana berikut:
a. Authoritarian Law
Keunggulannya:
1) Kepastian hukum tinggi
2) Daya paksa tinggi (disertai sanksi yang jelas)
Kekurangannya:
1) Bersifat statis (tidak berubah meski masyarakat berkembang)
2) Keadilan yang obyektif sulit diwujudkan
b. Common Law
Kekurangannya:
1) Kepastian hukum rendah (tidak konsisten)
2) Daya paksa rendah
Kelebihannya:
1) Bersifat dinamis
2) Obyektifitas keadilan mudah diwujudkan, sebab ukurannya adalah kacamata masyarakat
Dari teori materil tersebut pospisil mengambil sebuah kesimpulan yaitu : Hukum yang baik adalah hukum yang materinya sebanyak mungkin diambil dari hukum tidak tertulis (common law) namun menggunakan wadah hukum tertulis (authoritarian law).
2. Teori Formil
Disampaikan oleh Rick Dickerson seorang sarjana Inggris dalam bukunya “Legal Drafting Theory”, menyebutkan bahwa syarat hukum yang baik adalah:
a. Tuntas mengatur permasalahan
KUHP dan BW dianggap baik karena ia tuntas menyelesaikan permasalahan masyrakat.
b. Sedikit mungkin memuat delegasi perundang-undangan
Sebagai contoh pendelegasian Perda tentang parkir motor yang nominal tarifnya didelegasikan kepada bupati harus dihilangkan, sebab ini wewenang DPRD.
c. Tidak memuat ketentuan pasal yang bersifat elastis atau fleksibel (pasal karet)
Contoh pasal karet adalah pasal yang mempunyai ketidak jelasan makna, sebagai contoh kewenangan pemerintah Pusat dalam Undang-Undang meliputi kerjasama Internasional (Diplomasi), Hankam, keuangan dan Agama. Pasal seperti ini menimbulkan pengertian bahwa pasal-pasal di luar itu merupakan kewenangan di luar pemerintah pusat, atau mungkin kemudian dianggap sebagai kewenangan pemerintah daerah.
3. Teori Filsafat
Teori ini disampaikan oleh Jeremy Bentham (USA) pada bukunya “Legal Theory”, yang menyebutkan bahwa syarat hukum yang baik jika ia memenuhi 3 sifat berlaku:
a. Berlaku secara filosofis
Produk hukum harus mencerminkan falsafah hidup bangsa Indonesia yaitu Pancasila.
b. Berlaku secara sosiologis
Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat.
c. Berlaku secara yuridis
Hukum diibaratkan sebagai tombak yang memiliki dua ujung runcing, yaitu adil dan benar.
Adil adalah keseimbangan antara hak dan kewajiban. Benar adalah kecocokan antara peraturan dan perbuatan. Apabila adil dan benar bertemu, maka disebut dengan damai.
Jika suatu keputusan atau produk hukum dibuat dengan mengacu pada salah satu metode pembuatan produk hukum diatas, maka pastilah keputusan atau produk hukum yang diciptakan dapat “mengcover” segala kebutuhan masyarakat, sehingga tujuan untuk menciptakan masyarakat adil dan makmur dapat terwujud.
B. Tinjauan Yuridis Tentang Penerapan/Penggunaan Teori Materil dalam Pembentukan Produk Hukum
Dalam pengertian bahwa sebelum memasuki tahapan yuridis, proses pembentukan suatu peraturan harus sudah melalui tahapan sosio/politis secara final. Disanalah kita akan dapat memahami bahwa suatu peraturan itu sesungguhnya lahir melalui suatu proses yang membutuhkan waktu yang cukup panjang. Dari proses ini pula akhirnya dapat diprediksikan, seperti norma yang akan lahir ketika peraturan itu dibuat, terutama mengenai substansi dari norma-norma hukum terebut.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Lawrence M. Friedman bahwa komponen sistem hukum meliputi 3 hal, yaitu: 1). Strukur; 2). Substansi dan; 3). Kultur hukum (budaya hukum). Dimana diantara ketiganya harus berjalan beriringan yaitu struktur harus kuat, kredibel, akuntabel dan capabel. Substansi harus selaras dengan rasa keadailan masyarakat sedang budaya hukumnya harus mendukung tegaknya hukum jika salah satunya timpang, mustahil hukum bisa ditegakkan.
Oleh karena itu, dalam rangka melakukan pembentukan produk hukum yang baik harus mengambil pertimbangan-pertimbangan yang baik dalam pembuatan hukum tersebut. karena kita tidak dapat begitu saja mengeluarkan peraturan hukum tanpa menyediakan fasilitas atau sarana yang dapat menunjang terlaksananya peraturan tersebut. Dengan demikian, haruslah dipahami bahwa Pembuatan hukum itu merupakan suatu rencana bertindak (Plan of Action). Artinya apa yang disebut sebagai Undang-Undang itu hanyalah sekedar kerangka atau pedoman bertindak. Dan oleh karena itu masih harus dilengkapi dengan segala macam sarana yang dibutuhkan agar dapat dijalankan dengan semestinya.
Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa di dalam membentuk suatu produk hukum agar hukum tersebut dapat menjadi suatu produk hukum yang baik bagi masyarakat maka harus mengadaptasi kepentingan dan kebutuhan masyarakat dalam produk hukum tersebut. Daripada itu, penerapan teori materil yang dikemukakan oleh Leopold Pospisil tersebut harus menjadi rujukkan dan dijadikan koridor dalam melakukan pembentukan produk hukum. Teori yang menyatakan bahwa hukum yang baik adalah hukum yang materinya sebanyak mungkin diambil dari hukum tidak tertulis (common law) hanya luarnya saja yang diberi bentuk hukum tertulis (authoritarian law) tersebut sangat sesuai bila diterapkan di Indonesia, mengingat Indonesia merupakan negara yang terdiri dari berbagai adat dan suku bangsa yang telah meimiliki hukumya sendiri dimasyarakat. Akan menjadi hukum yang baiklah jika setiap produk hukum yang dihasilkan menganut teori ini.
Dan oleh karena hukum dibuat oleh manusia dan untuk mengatur hidup dan kehidupan manusia dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, maka hukum hendaknya bersumber dari kebiasaan hidup manusia itu sendiri bukan hukum yang dibuat-buat demi melanggengkan kekuasaan. Akan tetapi hukum yang ada dimasyarakat perlu untuk dilegitimasi agar memuliki kekuatan hukum, kepastian hukum dan agar supaya ditaati oleh masyarakat. Dari semua uraian ini penyusun menemukan sebuah hal penting yang menjadi pembelajaran berharga bagi penyusun bahwa “hukum tanpa legitimasi adalah omong kosong, sedangkan legitimasi hukum tanpa sosiologi hukum adalah sia-sia”.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam membentuk suatu produk hukum agar hukum tersebut dapat menjadi suatu produk hukum yang baik bagi masyarakat maka harus mengadaptasi kepentingan dan kebutuhan masyarakat dalam produk hukum tersebut. Daripada itu, penerapan teori materil yang dikemukakan oleh Leopold Pospisil tersebut harus menjadi rujukkan dan dijadikan koridor dalam melakukan pembentukan produk hukum. Teori yang menyatakan bahwa hukum yang baik adalah hukum yang materinya sebanyak mungkin diambil dari hukum tidak tertulis (common law) hanya luarnya saja yang diberi bentuk hukum tertulis (authoritarian law) tersebut sangat sesuai bila diterapkan di Indonesia, mengingat Indonesia merupakan negara yang terdiri dari berbagai adat dan suku bangsa yang telah meimiliki hukumya sendiri dimasyarakat. Akan menjadi hukum yang baiklah jika setiap produk hukum yang dihasilkan menganut teori ini.
Dengan demikian, haruslah dipahami bahwa Pembuatan hukum itu merupakan suatu rencana bertindak (Plan of Action). Artinya apa yang disebut sebagai Undang-Undang itu hanyalah sekedar kerangka atau pedoman bertindak. Dan oleh karena itu masih harus dilengkapi dengan segala macam sarana yang dibutuhkan agar dapat dijalankan dengan semestinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar