MAKALAH HUKUM ISLAM
PERKEMBANGAN dan PERTUMBUHAN HUKUM ISLAM
Oleh :
KHAIRUL UMAM ( D1A 009 153 )
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MATARAM
2010
KATA PENGANTAR
Tiada kata yang paling pas untuk diucapkan penulis kecuali Alhamdulillah, sebagai rasa puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufik dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas Hukum Islam ini.
Mata kuliah Hukum Islam merupakan mata kuliah yang harus dapat dituntaskan agar dapat mengambil mata kuliah selanjutnya, Hukum Islam merupakan salah satu hukum yang diajarkan diseluruh Fakultas Hukum di Indonesia, karena di indonesia sebagian besar penduduk indonesia beragama islam, sehingga Hukum Islam menjadi salah satu hukum yang digunakan oleh penduduk yang beragama islam dalam menentukan hukum sesuatu.
Disamping hukum barat dan hukum adat, indonesia juga memiliki hukum islam yang mempengaruhi hukum nasionalnya.
Penulis menyadari bahwa didalam makalah ini terdapat banyak kekurangan sehingga penulis sangat meharapkan saran, kritik dan tentunya bimbingan dari Bapak Dosen.
Turida, 1 Desember 2010
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................
A. Latar Belakang ....................................................................................
B. Rumusan Masalah…………………………………………………………
BAB II PEMBAHASAN...................................................................................
A. Masa Pembinaan, Pengembangan dan Pembukuan (abad VII - X M)…
B. Masa Kelesuan Pemikiran (abad X M – XIX M)………………………
C. Masa Kembangkitan Kembali (abad XIX M sampai sekarang)………..
BAB III PENUTUP...........................................................................................
A. Kesimpulan..........................................................................................
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pertumbuhan dan perkembangan hukum islam didalam dunia hukum sangatlah memberi pengaruh besar terhadap hukum-hukum yang ada didunia, bahkan Negara barat kini mulai mempelajari hukum islam, karena menurut mereka hukum islam merupakan hukum yang sempurna yang mampu member rasa keadilan didalam penerapannya.
Didorong oleh apa yang telah di kemukakan di atas dan kesadaran akan pentingnya arti hukum islam bagi ilmu pengetahuan, di eropa sekarang, beberapa fakultas hukum prancis misalnya, mengajarkan hukum islam. Yang mendorong mereka mengadakan mata kuliah tersendiri untuk hukum islam adalah kenyataan bahwa hukum islam merupakan satu di antara system-sistem hukum besar yang hidup didunia sekarang. D. De santilana, seorang ahli hukum terkenal bangsa italia, menyebutkan bahwa yang mendorong orang barat mempelajari hukum islam adalah karena hukum islam merupakan sumber pasti dan positif bagi prinsip-prinsip hukum-hukum eropa modern.
Agama Islam sebagai induk hukum Islam muncul disemenanjung Arab, suatu daerah tandus yang dikelilingi oleh laut pada ketiga sisinya dan lautan pasir pada sisi keempat. Disanalah Nabi Muhammad dilahirkan dan menyebarkan sebuah agama yang menjadi rahmat bagi seluruh alam yakni agama islam utntuk pertama kalinya.
Nabi Muhammad saw mendapatkan wahyu dari Allah SWT pertama kali pada hari Senin tanggal 17 Ramadhan tahun ke-41 dari kelahirannya, bertepatan dengan tanggal 6 Agustus 610 M. Semenjak saat itu, Muhammad bin Abdullah mengemban amanat nubuwwah dari Allah SWT untuk membawa agama Islam ke tengah-tengah manusia, yang ternyata merupakan sebuah ajaran yang merombak seluruh sistem sosial, terutama sistem hukum yang ada pada masyarakat Jahiliyyah. Islam datang ke tengah-tengah masyarakat Jahiliyyah dengan membawa syari'ah (sistem hukum) yang sempurna sehingga mampu mengatur relasi yang adil dan baik antar individu manusia dalam masyarakat. Secara prinsip, kemunculan Nabi Muhammad saw dengan membawa ajaran-ajaran baik, dapat dinilai sebagai sebuah perubahan sosial terhadap kejahiliyyahan yang sedang terjadi di dalam masyarakat, terutama sistem hukumnya, dengan wahyu dan petunjuk dari Allah SWT.
Adapun tahap-tahap didalam perkembangan dan pertumbuhan hukum islam sebagaimana dikemukakan oleh penulis-penulis sejarah hukum Islam pada umumnya telah melakukan pembagian mengenai tahap-tahap pertumbuhan dan perkembangan hukum islam. Pada umumnya para penulis sejarah hukum islam membagi tahap-tahap pertumbuhan serta perkembangan hukum islam adalah menjadi 5 masa berikut ini:
a) Masa Nabi Muhammad (610 M - 632 M)
b) Masa khulafa Rasyyidin (632 M – 662 M)
c) Masa Pembinaan, Pengembangan dan Pembukuan (abad VII - X M)
d) Masa Kelesuan Pemikiran (abad X M – XIX M)
e) Masa Kembangkitan Kembali (abad XIX M sampai sekarang).
Masa Nabi Muhammad merupakan masa kelahiran hukum islam, kemudian setelah Nabi Muhammad wafat, hukum-hukum yang dijadikan sebagai sumber hukum datang dari Khulafa Rasyyidin, yang merupakan masa kedua daari perkembangan hukum islam. Hukum-hukum yang diterapkan pada masa Khulafa Rasyyidin adalah berdasarkan kemampuan dan pengetahuan yang diperoleh dari nabi Muhammad S.A.W.
Kedua masa di atas telah banyak di jelaskan oleh para tokoh-tokoh agama didalam pengajian-pengajian, sehingga dalam makalah yang penulis susun akan membahas mengenai Masa Pembinaan, Pengembangan dan Pembukuan, Masa Kelesuan Pemikiran dan Masa Kembangkitan Kembali, yang kurang banyak dibahas dan diketahui oleh masyarakat pada umumnya dan mahasiswa pada umummya.
B. Rumusan Masalah
Makalah yang penulis susun akan menguraikan mengenai bagaimana perkembangan hukum islam dari :
a) Masa Pembinaan, Pengembangan dan Pembukuan (abad VII - X M)
b) Masa Kelesuan Pemikiran (abad X M – XIX M)
c) Masa Kembangkitan Kembali (abad XIX M sampai sekarang)
BAB II
PEMBAHASAN
A. MASA PEMBINAAN, PENGEMBANGAN, DAN PEMBUKUAN (ABAD VII-X M)
Disamping periode Nabi Muhammad dan periode Khulafa Rasyidin yang telah di uraikan di atas, periode Pembinaan, Pengembangan, dan Pembukuan Hukum Fiqih Islam perlu dikaji dan dipahami dengan baik, karena dalam periode inilah hukum islam dikembangkan lebih lanjut. Periode ini berlangsung lebih kurang dua ratus lima puluh tahun lamanya, dimulai pada bagian kedua abad keVII sampai dengan abad X masehi. hukum fiqih islam berkembang dimasa Umayyyah dan berbuah di zaman Abbasiyah1.
Hukum fiqih islam sebagai salah satu aspek kebuadayaan islam mencapai puncak perkembangannya di zaman Khalifah Abbasiyah yang memerintah selama lebih kurang lima ratus tahun. Di masa inilah (1) lahir para ahli hukum islam dan merumuskan garis-garis hukum fiqih islam serta (2) muncul berbagai teori hukum yang masih dianut dan dipergunakan oleh umat islam sampai sekarang. Gerakan ijtihad yakni gerakan untuk mempergunakan seluruh kemampuan pikiran dalam memahami ketentuan hukum islam yang tercantum di dalam ayat-ayat hukum dalam Al-quran dan Sunnah Nabi Muhammad dan merumuskannya menjadi garis-garis hukum yang mengatur segala bidang hidup dan kehidupan manusia oleh orang-orang yang memenuhi syarat. Orang yang melakukan demikian disebut mujtahid yakni orang yang berijtihad. Menurut kualitas dan hasil karyanya para mujtahid itu dapat diklasifikasikan menjadi (1) mujtahid mutlak yaitu para ulama (jamak dari alim = orang berilmu) para mujtahid mutlak ini seperti Abu Hanifah, Malaik bin Anas, As-Syafi’i, Ahamad bin Hambal dengan pengetahuannya yang sangat luas mampu menetapkan garis-garis hokum melalui ijtihadnya. (2) mujtahid mazhab adalah orang yang merumuskan dasar-dasar ajaran yang telah diberikan oleh mujtahid mutlak. Dengan ilmunya yang luas mujtahid mazhab dapat menetapkan hukum yang belum ditetapkan oleh mujtahid mutlak. Contohnya adalah Al-Gazali dengan kitabnya al-Basith. (3) mujtahid fatwa yaitu orang yang melanjutkan pekerjaan mujtahid mazhab untuk menentukan hukum suatu masalah yang timbul dalam masyarakat. Contoh dikemukakan imam an-Nawawi dalam bukunya minhaj at-talibin( jalan bagi para siswa). (4) Ahli Tarjih, yaitu orang-orang yang dengan ilmu pengetahuan yang ada padanya dapat membanding-bandingkan mana yang lebih “kuat” pendapat ayng ada, serta member penjelasan atau komentar atas pendapat yang berbeda yang dikemukakan oleh para mujtahid tersebut diatas. Untuk mujtahid yang ke empat ini sering pula disebut muqallid kalau ia hanya mengikuti saja pendapat para mujtahid lainnya dengan taqlid.
1Hazairin. Pengantar Hukum Islam. Jakarta: Grafindo.1955
Faktor-faktor yang mendorong orang menetapkan hukum dan merumuskan garis-garis hukum adalah : (a) wilayah islam sudah sangat luas, terdapat berbagai suku bangsa, adat istiadat, cara hidup dan kepentingan yang berbeda. Untuk dapat menyatukan mereka semua didalam satu pola kehidupan hukum, diperlukan pedoman yang jelas yang mengatur tingkah laku mereka dalam berbagai bidang hidup dan kehidupan; (b) telah adanya karya-karya tulis tentang hukum yang dapat dipergunakan sebagai bahan dan landasan untuk membangun serta mambangun hukum fiqih islam; (c) telah tersedia pula para ahli yang mampu berijtihad memecahkan berbagai masalah hukum dan masyarakat.
Dalam periode inilah timbul para mujtahid atau imam tersebut di atas. Dulu jumlahnya banyak, akan tetapi yang masih di ikuti sampai sekarang ada empat , yakni ;
1. Abu Hanifah ( Al- Nukman ibn Tsabit) : 700-767 M
Ia hidup di khufah, yang letaknya jauh dari madinah tempat Nabai Muhammad hidup dahulu. Berbeda dengan madinah, di tempat banyak orang mendengar dan mengetahui Sunnah nabi, di khufah (a) banyak orang yang tidak mengetahui benar tentang Sunnah Nabi Muhammad. (b) keadaan masyarakat di khufah sangat berbeda dengan masyarakat madinah. (c) intensitas penggunaan sumber hukum yang berbeda. Di khufah lebih banyak mempergunakan pendapat dan pemikiran sendiri dengan qiyas atau analaogi sebagai alatnya.
Mazhab ini dianut sekarang di Turki, Syiria, Irak Afganistan, Pakistan, India, Cina, dan Uni Soviet. Dibeberapa Negara Islam, seperti Syiria, Libanon dan Mesir, mashab Hanafi menjadi mazhab hukum resmi. Sumber hukum yang mereka pergunakan adalah Al-qur’an, Sunnah, dan Ra’yu, dengan ijmak, Qiyas, Istihsan serta Urf atau adat kebiasaan yang baik masyarakat setempat sebagai metode menemukan hukum.
2. Malik bin Anas : 713-795 M
Malik bin Anas hidup dan mengembangkan fahamnya dimadinah di mana banyak orang yang mengetahui Sunnah nabi. Oleh karena itu Malik banyak mempergunakan Sunnah dalam memecahkan persoalan hukum. Malik sendir menjadi pengumpul Sunnah Nabi. Ia mmenyusunnya dalam kitab hadist yang terkenal dengan nama al-Muwatta’ (al-muwathtak: jejak langkah, perrintis).
Mashab Maliki (yang dihubungkan pada Malik bin Anas) di anut sekarang di Maroko, Al-Jazair, Libiya, Mesir Selatan, Sudan, Bahrain, dan Kwait. Sumber hukumnya adalah Alquran dan Sunnah Nabi, dengan Ijmak penduduk madinah, Qiyas dan Masalih Al-Mursalah (kemaslahatan atau kepentingan umum). Sebagai metodenya atau alat menemukan hukum untuk diterapkan pada suatu kasus yang konkret.
3. Muhammad Idris As-Syafi’i ; 767-820 M
Ia belajar hukum fiqih islam dari para mujtahid mazhab Hanafi dan Malik bin Anas. Karena itu pula ia mengenal baik kedua aliran hukum itu baik tentang sumber hukum maupun mengenai metode yang mereka pergunakan. Karena itu pula ia dapat menyatukan kedua aliran itu dan merumuskan sumber-sumber hukum (fiqih) Islam (baru).
Dalam kepustakaan hukum islam ia disebut sebagai Master architect (arsitek agung) sumber-sumber hukum (fiqih) islam karena dialah ahli hukum islam pertama yang menyusun ilmu usl al-fiqh (usul fiqih) yakni ilmu tentang sumber-sumber hukum fiqih islam dalam bukunya yang terkenal ar-Risalah ( pengantar dasar-dasar hukum islam). Dalam buku itu dikemukakannya bahwa sumber-sumber hukum (fiqih) islam adalah Alquran, Sunnah, Ijmak dan Qiyas. Syafi’i banyak menulis buku, diantaranya yang terkenal adalah al-Umm (induk) dan ar-Risalah tersebut diatas.
Mazhab Syafi’i sekarang di ikuti di Mesir, Palestina, ( juga dibeberapa tempat di Syiria dan Libanon, Irak dan India), Muangthai, Filipina, Malaysia, dan Indonesia. Sumber hukumnya adalah Alquran, Sunnah, Ijmak, Qiyas, dan Istishab, yaitu penerusan berlakunya ketentuan hukum yang telah ada, karena tidak terlihat adanya dalil yang mengubah ketentuan hukum tersebut.
4. Ahmad bin Hambal (Hambal); 781-855 M
Ia belajar hukum dari beberapa ahli, termasuk syafi’i, di beberapa tempat. Selain ahli hukum ia ahli pula tentang hadis Nabi. Berdasarkan keahliannya itu, seperti halnya Malik bin Anas, ia menyusun kitab hadis terkenal bernama al-Musnad atau (kadangkadang ditulis) al-Masnad. Pendapat Ahmad bin Hambal ini menjadi pendapat resmi (Negara) di Saudi Arabia ( sekarang ). Dibandingkan dengan aliran-aliran hukum tersebutdi atas Mazhab Hambali ini yang paling sedikit penganutnya. Sumber hukumya adalah sama dengan Syafi’i dengan menekankan atau mengutamakan Alquran dan Sunnah.
Keempat pendiri mazhab yang di sebut “imam” ini menyatakan bahwa sumber-sumber (pengambilan) hukum mereka adalah Alquran dan Sunnah nabi. Sementara itu mereka juga menemukan juga cara atau metode pembentukan hukum melaui Ijmak dan Qiyas yang kemudian di akui dan dinyatakan oleh Syafi’i sebagai sumber hukum ketiga dan keempat.
Keempat mazhab tersebut di atas mempunyai pendapat sendiri tentang hukum atau garis-garis hukum mengenai berbagai masalah hukum baik di bidang ibadah maupun muamalah. Selain perkembangan pemikiran hukum di atas, dalam periode ini pulalah lahir teori penilaian mengenai baik buruknya suatu perbuatan yang di lakukan oleh manusia yang terkenal dengan nama al-ahkam al-khamsah (hukum taklifi) yang telah di uraikan dimuka.
Dan, sebagaimana diketahui, sumber utama hukum islam adalah Alquran dan Sunnah Nabi Muhammad. Alquran sudah dicatat di masa nabi Muhammad, di himpun dalam satu naskah di zaman Khalifah Abu Bakar, dua tahun setelah Nabi Muhammad meninggal dunia dan disalin serta dibakukan dalam satu mushaf Alquran standar di zaman Khalifah Usman.
Sebagaimana telah di kemukakan di muka, berdasarkan cara pemberitaan atau “ jumlah “ orang yang menyampaikannya secara lisan turun temurun, hadis atau sunnah nabi dapat di bagi kedalam (1) mutawatir, (2) masyhur dan (3) ahad (; ada juga yang mengelompokkannya kedalam : mutawatir dan ahad ). Dan berdasarkan kualitas atau tingkat sanadnya yakni mata rantai (rangkaian) nama orang-orang yang meriwayatkansesuatu hadis, hadis atau sunnah nabi di bagi ke dalam tiga kategori yakni; (a) Sahih (sehat), (b) Hasan (baik/bagus) (c) Da’if (lemah). Bukhari, seperti telah disebutkan juga di depan, mengemukakan lima kategori untuk menentukan pengelompokan hadis atau sunnah nabi itu kedalam sahih, hasan dan da’if. Ke lima katagori itu adalah (1) kekuatan ingatan para perawinya yakni orang yang menyampaikan hadis atau sunnah nabi itu secara lisan turun temurun, (2) kejujurannya (3) tidak terputus-putus mata rantai perawi hadis bersangkutan ( sanad-nya) (4) isinya tidak cacat, dan (5) tidak ada kejanggalan kalau dipandang dari sudut bahasa atau tata bahasa. Kalau semua di penuhi, hadis itu di sebut sahih, satu atau dau kurang disebut hasan, lebih dari dua di sebut da’if. Orang yang mempergunakan hadis atau sunnah nabi sebagai sumber hukum, harus mengetahui benar tentang seluk beluk hadis atau sunnah nabi, sekurang-kurangnya mengetahui pengelompokan atau derajat hadis atau sunnah nabi tersebut.
Demikianlah, atas usaha para ahli, pada pertengahan abad ketiga hijriah atau akhir abad ke-9 dan permulaan abad ke-10 M tersusunlah kitab hadis yang terkenal dengan nama al-kutub as-sittah2 ( enam buah kitab hadis) masing-masing karya :
1. Bukhari, meninggal tahun 256 H/ 870 M
2. Muslim , meninggal tahun 261 H/ 875 M
3. Ibnu Majah, meninggal tahun 273 H/ 877 M
4. Abu Daud, menginggal tahu 275 H/ 889 M
5. At-Tarmizi, meninggal tahun 279 H/ 892 M
6. An-Nasa’i, meninggal tahu 303 H/ 915 M
Dari angka-angka tahun meninggalnya para penyusun kitab-kitab hadis di atas, dapt di ketahui bahwa mazhab atau aliran hukum islam telah terbentuk sebelum al-kutub as-sittah ( enam buah kita hadis) itu disusun.
Salain itu, perlu di catat pula bahwa pada periode ini puluhan metode-metode tertentu pengembilan hukum dari Alquran dan Sunnah, penetapan dan penemuan hukum yang tidak ada ketentuannya dalam kedua sumber utama hukum itu dikembangkan. Yang terpenting di antaranya adalah ; Ijmak, Qiyas, Masalih al-Mursalah, Istihsan,Istisbah, Al-Urf yang telah di sebutkan di atas3.
2Ahmad Salabi. Masa Depan Hukum Islam. Jakarta: gramedia.1964
3 H.M. Rasjidi. Sejarah Hukum Islam.1973
B. MASA KELESUHAN PEMIKIRAN (ABAD X-XI-XIX M)
Sejak permulaan abad ke-4 hijriah atau abad ke-10-11 masehi, ilmu hukum islam mulai berhenti berkembang. Ini terjadi di akhir (pengujung) pemerintahan atau dinasti Abasiyah. Pada masa ini para ahli hukum hanya membatasi diri mempelajari pikiran-pikiran para ahli sebelumnya yang telah di tuangkan kedalam buku berbagai mazhab. Yang di permasalahkan tidak lagi soal-soal dasar atau soal-soal pokok tetapi soal-soal kecil yang biasa disebut dengan istilah furu’ (ranting).
Sejak itu, mulailah gejala mengikuti beda pendapat para ahli sebelumnya (ittiba’-taqlid). Para ahli hukum dalam masa ini, tidak lagi menggali hukum (fiqih) islam dari sumbernya yang asli, tetapi hanya sekedar mngikuti pendapat-pendapat yang telah ada dalam dan mazhabnya masing-masing. Kalau orang menulis tentang masalah hukum, tulisannya itu biasanya hanya merupakan komentar atau catatan-catatan terhadap pikiran-pikiran hukum yang terdapat dan telah ada dalam mazhabnya sendiri.
Dengan kata lain, yang menjadi ciri umum pemikiran hukum dalam periode ini adalah para ahli hukum tidak lagi memusatkan usahanya untuk memehami prinsip-prinsip atau ayat-ayat hukum yang terdapat dalam Alquran dan Sunnah Nabi Muhammad, tetapi pikirannya di tumpukan pada pemahaman perkataa-perkataan, pikiran-pikiran hukum para imamnya saja. Dinamika masyarakat yang terjadi terus menerus itu tidak lagi di tampung dengan pengembangan pemikiran hukum pula. Dengan kata lain, masyarakat terus berkembang sedang pemikiran hukumnya berhenti. Terjadilah “kemunduran” dalam perkembangan hukum islam.
Diantara faktor-faktor atau keadaan yang menyebabkan “kemunduran” atau kelesuan pikiran hukum islam dimasa itu adalah hal-hal berikut :
1. Kesatuan wilayah islam yang luas telah ratak dengan munculnya beberapa Negara baru, baik di eropa (sepanyol), Afrika Utara, di kawasan timur tengah, dan Asia. Munculnya Negara-negara baru itu membawa ketidak setabilan politik. Hal ini mempengaruhi kegiatan pemikiran dan peman tapan hukum.
2. Ketidak setabilan politik menyebabkan pila ketidak setabilan kebebasan berfikir. Artinya orang tidak bebas mengutarakan pendapatnya. Dan karena pada zaman sebelumnya telah terbentuk aliran-aliran pemikiran hukum yang disebut dengan mazhab-mazhab (yang empat) itu, para ahli hukum dalam periode ini tinggal memilih (ittiba’) atau mengikuti (taqlid) saja pada salah satu diantaranya, memperkuat, memperjelas hal-hal yang terdapat dalam mazhabnya itu dengan berbagai penafsiran dan cara. Sikap yang seperti ini menyebabkan “ jiwa atau ruh ijtihad ” yang menyala-nyala di zaman-zaman sebelumnya menjadi padam dan para ahli mengikuti saja paham yang telah ada dalam mazhabnya.
3. Pecahnya kesatuan kenagaraan atau pemerintahan itu menyebabkan merosotnya pula kewibawaan pengendalian perkembangan hukum. Dan bersamaan dengan itu muncul pula orang-orang yang sebenarnya tidak mempunyai kelayakan untuk berijtihad, namun mengeluarkan berbagai garis hukum dalam bentuk “fatwa” yang membingungkan masyarakat. Kesimpangsiuran pendapat yang sering kali bertantangan, menyebabkan pihak yang berkuasa memerintahkan para mufti serta kadi-kadi ( para hakim ) untuk mengikuti saja pemikiran-pemikiran yang telah ada sebelumnya. Dengan langkah ini di maksudkan “kesimpang siuran “ pemikiran hukum akan di hentikan tetapi justru dengan itu “kebekuan” pemikiran hukum terjadi bersamaan denga itu pulla di kumandangkan pendapat bahwa “ pintu ijtihad atau bab al-ijtihad (baca; babul ijtihad) telah tertutup”.
4. Timbullah gejala kelesuhan berfikir dimana-mana. Karena kelesuhan berfikir itu, para ahli tidak mampu lagi menghadapi perkembangan keadaan dengan mempergunakan akal pikiran yang mardeka dan bertanggung jawab. Dan dengan demikian pula perkembangan hukum islam pada periode ini menjadi lesu, tidak berdaya lagi menghadapi dan menjawab tantangan-tangan zamannya4.
C. MASA KEBANGKITAN KEMBALI (ABAD KE-19 SAMPAI SEKARANG)
Setelah mengalami kelesuhan, kemunduran beberapa abad lamanya, pemikiran islam bangkit kembali. Ini terjadi pada bagian ke-2 abad ke-19. Kebangkitan kembali pikiran islam timbul sebagai reaksi terhadap sikap taqlid tersebut di atas yang telah membawa kemunduran hukum islam. Muncullah gerakan-gerakan baru di antara gerakan para ahli hukum yang menyarankan kembali kepada Alquran dan Sunnah. Gerakan itu dalam kepustakaan di sebut gerakan salaf (salafiyah) yang ingin kembali kepada kemurian ajaran islam di zaman salaf (=permulaan ) generasi awal dahulu.
Sebagai reaksi terhadap reaksi sikap taqlid di atas, sesungguhnya pada periode kemunduran itu sendiri telah muncul beberapa ahli yang ingin tetap melakukan ijtihad, untuk menampung dan mengatasi persoalan-persoalan oerkembangan masyarakat. Pada abad ke-14 telah timbul seorang mujtahid besar yang menghembuskan udara baru dan segar dalam dunia pemikiran agama dan hukum. Namaya Ibnu Taimiyyah (1263-1328) dan muridnya Ibnu Qayyim al-jauziyah (1292-1356). Pola pemikiran meeka di lanjutkan pada abad ke-17 oleh Muhammad Ibnu Abdul Wahab (1703-1787) yang terkenal dengan gerakan wahabi yang mempunyai pada gerakan padri di minangkabau (Indonesia). Usaha ini dilanjutkan oleh Jamaluddin Al-Afghani (1839-1897) terutama di lapangan politik5.
4A. Hanafi. Sejarah Hukum Islam. Jakarta: Gramedia.1970 (174-145)
5H.M. Rasjidi. Sejarah Hukum Islam.1976:20
Paham Ibnu Taimiyyah, seorang tokoh pemikir abad ke-14 M tersebut, yang membagi ruang lingkup agama islam ke dalam dua bidang besar yakni ibadah dan mu’amalah, dikembangkan lebih lanjut oleh Muhammad Abduh. Pembaharuan pemikiran yang dilakukan oleh Muhammad Abduh6. Dianataranya adalah: (1) membersihkan islam dari pengaruh-prngaruh dan kebiasaan-kebiasaan yang bukan islam; (2) mengadakan pembaharuan dalam system pendidikan islam, terutama di tingkat perguruan tinggi; (3) merumuskan dan menyatakan kembali ajaran islam menurut alam pikiran modern; (4) mempertahankan atau membela (ajaran) islam dari pengaruh barat dan serangan agama lain; (5) membebaskan negeri-negeri yang penduduknya beragama islam dari belenggu penjajahan.
Mengenai mazhab, Abduh mengatakan bahwa aliran pikiran yang berbeda dalam suatu masyarakat adalah biasa. Itulah yang keliru karena dapat membahayakan persatuan dan kesatuan umat islam. Kafanatikan “buta” terhadap salah satu mazhab dan menganggap hanya pendapat dalam mazhabnya saja yang benar menyebabkan terpecah-pecahnya umat islam kedalam pecahan-pecahan (firkah-firkah) yang terpisah satu dengan yang lain, saling bermusuhan bahkan saling cela-mencela sehingga mereka tidak lagi bersatu dan berjalan ke tujuan yang sama.
Dengan mengajak seorang Muslim membebaskan diri dari kefanatikan mazhab, ia bermaksud pula mengembalikan fungsi akal pikiran ke tempat yang benar dan mempergunakannya secara baik untuk memecahkan berbagai masalah dalam hidup dan kehidupan manusia pada zamannya. Ia menyerukan kepada umat islam yang memenuhi syarat untuk berijtihad, berusaha mengkaji dan memecahkan berbagai masalah dalam masyarakat yang terus berkembang. Ia menganjurkan orang berijtihad dan menolak taqlid.
Di fakultas-fakultas hukum islam syaria’ah (syariah), sekarang di adakan mata kuliah yang baru bernama perbandingan mazhab, “disana tidak hanya satu, tetapi ke empat aliran hukum yang terdapat dalam golongan Ahlus Sunnah Waljama’ah (Hanafi, maliki, syafi’i, dan Hambali) misalnya, diajarkan. Bahkan diajarkan juga aliran-aliran hukum yang ada dalam golongan Syi’ah (itsna’ Asyari atau imam dua belas Ismaili dan Zaidi). Disamping perbandingan hukum antar mazhab dalam islan ini, di bandingkan juga hukum islam dengan hukum barat dan hukum-hukum lainnya yang terdapat dan berkembang di dunia ini sebagai satu system. Dengan cara ini ruang lingkup ajaran masing-masing hukum dapat dilihat secara jelas. Demikian juga halnyajuga dengan sumber-sumber serta asas-asasnya, dapat pula dikaji secara mendalam.
Justice Robert Jeckson, seorang Hakim Agaung pada Mahkamah Agung Amerika Serika menyebutkan beberapa motif yang mendorong para ahli hukum barat mempelajari hukum islam. Menurut Robert Jeckson; (1) Negara-negara barat yang gelisah itu telah menemukan dalam dunia islam sekutu (dahulu) melawan faham komunis. Selain itu, (2) pandangan dunia barat kini lebih
6Dr.Charles C. Adam. Islam And Modernism In Egypt. 1933
obyektif terhadap dunia islam, sejarah dan perbedaan-perbedaan agama. Disebutkannya pula bahwa (3) perdagangan denngan timur tengah merupakan unsur baru yang mendorong orang-orang barat mempelajari hukum dan perundang-undangan islam7.
Didorong oleh apa yang telah di kemukakan di atas dan kesadaran akan pentingnya arti hukum islam bagi ilmu pengetahuan, di eropa sekarang, beberapa fakultas hukum prancis misalnya, mengajarkan hukum islam. Diantara tokohnya adalah (Edward Lambert dan )Rene david, guru besar fakultas hukum universitas paris. Yang mendorong mereka mengadakan mata kuliah tersendiri untuk hukum islam adalah kenyataan bahwa hukum islam merupakan satu di antara system-sistem hukum besar yang hidup di dunia sekarang8. D. De santilana, seorang ahli hukum terkenal bangsa italia, menyebutkan bahwa yang mendorong orang barat mempelajari hukum islam adalah karena hukum islam merupakan sumber pasti dan positif bagi prinsip-prinsip hukum-hukum eropa modern. Pendapat sarjana–sarjana barat tentang hukum islam, juga dikumandangkan dalam berbagai seminar yang di adakan khusus untuk mengkaji hukum islam. Dari pembicaraan-pembicaraan yang berlangsung selama pekan hukum islam ini, dengan nyata telah terbukti bahwa (1) perinsip-perinsip hukum islam mempunyai nilai-nilai yang tidak dapat di pertikaikan lagi dan bawha (2) berbagai ragam mazhab yang ada dalam lingkungan besar system hukum itu mengandung suatu kekayaan pemikiran hukum dan kekayaan teknik yang mengagumkan yang membicarakan kemungkinan kepada hukum ini memenuhi semua kebutuhan yang di tuntut olehkehidupan modern. Seminar paris tahun 1951 ini (3) menganjurkan juga agar di bentuk suatu panitia untuk membuat kamus huku islam yang disusun secara modern untuk memudahkan orang memperoleh keterangan-keterangan tentang pengertian-pengertian hukum islam.
Sebagai penutup uraian mengenai bab ini, perlu di catat bahwa kini terdapat kecenderungan kuat dan arus yang deras di kalangan umat islam terutama di timur tengah, afrika dan Pakistan untuk kembali pada hukum islam sebagai salah satu identitasya9 . bahan-bahan hukum yang mereka pergunakan dalam menyusun kodifikasi hukum islam itu bukan hanya bahan-bahan yang terdapat di kalangan ahlus sunnah waljama’ah saja, tetapi juga dari aliran lain yang terdapat dalam semua bahan-bahan hukum itu, dan memilih dengan hati-hatipemikiran-pemikiran yang sesuai dengan kondisi dan situasi umat islam di abad ke-20 ini. Di Indonesia atas kerja sama mahkamah agung dengan departemen agama telah di kompilasikan hukum islam mengenai perkawinan, kewarisan, dan perwakafan. Kompilasi ini telah di setujui oleh para ulama dan ahli hukum islam pada bulan februari 1988 dan (tahun 199) telah diberlakukan bagi umat islam Indonesia yang menyelesaikan sengketa mereka diperadilan agama (salah satu unsur kekuasaan kehakiman di tanah air kita) sebagai hukum terapan.
7Majid Khadduri. 1955:V
8Said Rahman. Sejarah Perkembangan dan Pertumbuhan Hukum Islam. Jakarta: Gramedia. 1970
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Pertumbuhan dan Perkembangan hukum islam membawa pengaruh yang besar terhadap sistem hukum di Indonesia khususnya dan didunia pada umumnya, ini dibuktikan dengan mulainya Negara-negara barat mempelajari hukum islam kerena menurut mereka islam adalah salah satu hukum yang di akui oleh dunia saat ini dan merukapan system hukum yang sempurna yang mampu memberikan rasa keadilan didalam penerepannya.
Pertumbuhan dan Perkembangan hukum islam yang terjadi merupakan wujud dari keragaman berfikir didalam menyelesaikan masalah melalui metode-metode yang telah dikemukakan oleh para ahli fiqih seperti Qiyas, Ijmaq dan sebagainya. Metode yang di gunakan untuk menemukan sebuah hukum baru yang memberikan pengertian yang jelas terhadap suatu masalah yang di hadapi merupakan dampak yang di timbulkan dari proses pertumbuhan dan perkembangan hukum islam itu sendiri.
Di dalam makalah yang telah penulis susun telah di uraikan bagaimana metode atau cara didalam menetapkan sebuah hukum baru yang dapat dijadikan dasar untuk menentukan sebuah hukum terhadap suatu permasalahan dan juga mengetahui bagaimana tingkatan-tingkatan kuatnya sebuah hadist yang di pergunakan sebagai dasar untuk menentukan sebuah hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad Husain Haikal. (1917:55)