Kamis, 21 November 2013

TINJAUAN YURIDIS TENTANG PENERAPAN/PENGGUNAAN TEORI MATERIL DALAM PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM

MAKALAH POLITIK HUKUM
TENTANG 
TINJAUAN YURIDIS TENTANG PENERAPAN/PENGGUNAAN TEORI MATERIL DALAM PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM 
 Disusun oleh :
 KHAIRUL UMAM 13/356307/PHK/07926 
 FAKULTAS HUKUM 
UNIVERSITAS GAJAH MADA 2013

KATA PENGANTAR 
Puji beserta syukur penyusun ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat, taufik dan hidayah-Nya. sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Tinjauan Yuridis Tentang Penerapan/Penggunaan Teori Materil dalam Pembentukan Produk Hukum’’ ini. Sholawat serta salam, senantiasa kita haturkan kepada panglima para mujahid, Nabi Muhammad SAW. Penyusun menyadari dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan (no body perfect). Untuk itu, penyusun mengharapkan masukan, kritik maupun saran demi kesempurnaan makalah ini. Akhirnya, semoga Allah selalu meridhai segala amal usaha kita semua, Amin Ya Rabbal Alamin. 
Yogyakarta, 14 November 2013 
Penyusun, 
Khairul Umam 

 MOTTO 

“Katakanlah: "Kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula).”(QS. Al-Kahfi (18):109)

“je me presse de rire, de peur d’etre oblige’ d’en pleurer” Aku paksa diriku untuk menertawakan segalanya, sebab takut kalau terpaksa menangis karena segalanya. (Pierre Agustin Beaumarchais) 

 jika fisikmu lelah maka istirahatlah jika batinmu lelah maka ibadahlah. 


Jumat, 25 Mei 2012

PERAN MASYARAKAT DAN KELEMBAGAAN DALAM PENATAAN RUANG

MAKALAH HUKUM TATA RUANG DAN PERIZINAN 
TENTANG 
PERAN MASYARAKAT DAN KELEMBAGAAN DALAM PENATAAN RUANG 
 Oleh : KHAIRUL UMAM ( D1A 009 153 ) 
 FAKULTAS HUKUM 
UNIVERSITAS MATARAM 2012 

 KATA PENGANTAR 
 Puji beserta syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah - Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis yang berjudul “Peran Masyarakat Dan Kelembagaan Dalam Penataan Ruang ’’ ini. Penulis menyadari dalam penyusunan karya tulis ini masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan dalam isi maupun penyusunannya, baik dalam penyajian data, bahasa maupun sistematika pembahasannya. Sebab bak kata pepatah “ tak ada gading yang tak retak atau dengan pepatah lain tak ada ranting yang tak akan patah” , oleh sebab itu Penulis mengharpkan masukan atau kritikan maupun saran yang bersifat membangun demi kesempurnaannya di masa yang akan datang. Turida Barat, 1 Mei 2012 Penulis, 

 DAFTAR ISI 
KATA PENGANTAR ............................................................................................ 
DAFTAR ISI............................................................................................................. 
BAB I PENDAHULUAN 
A. Latar Belakang................................................................................................. 
B. Rumusan Masalah............................................................................................. 

BAB II PEMBAHASAN 
A. Peran Serta Masyarakat Dalam Penataan Ruang......................................... 
B. Peran Kelembagaan dalam Penataan Ruang……………………………. 
C. Tujuan ……………..................................................................................……. 

BAB III PENUTUP 
A. Kesimpulan ........................................................................................................ 
B. Saran ................................................................................................................... 


BAB I PENDAHULUAN 
A. Latar Belakang 
Penataan ruang yang dianut selama ini cenderung memandang masyarakat sebagai objek pembangunan atau suatu kelompok objek fungsional perencanaan. Rencana tata ruang yang telah disusun oleh para perencana, kemudian disahkan oleh Pemerintah Daerah bersama DPRD, yang selanjutnya menjadi dokumen formal yang berfungsi sebagai pedoman pelaksanaan pembangunan yang harus dipatuhi oleh semua pihak termasuk masyarakat setempat. Berikutnya, kewenangan pengaturan pelaksanaan rencana tata ruang didominasi oleh pemerintah, kalau pun masyarakat terlibat hanya diwakili oleh anggota legislatif yang memiliki daya kontrol yang lemah. Penataan ruang yang semula masyarakat dipandang sebagai objek peraturan dan homogen, harus dirubah dengan memandang masyarakat sebagai subjek peraturan dengan keanekaragaman perilaku ('behaviorism approach'). Pendekatan baru ini menuntut peranan pemerintah untuk menggali dan mengembangkan visi bersama antara pemerintah dan kelompok masyarakat di dalam merumuskan: (1) wajah ruang masa depan; (2) standar kualitas ruang; (3) aktivitas yang diinginkan dan dilarang pada suatu kawasan; (4) distribusi dan alokasi public facilities; dan (5) development control system. Masyarakat sebagai subyek dari proses pembangunan sedangkan pemerintah adalah pemberi arah dan fasilitator. Jika subyek tidak berperan secara baik maka proses pembangunan tidak akan berhasil. Ketaatan masyarakat pada rencana tata ruang sangat diperlukan demi suksesnya tujuan penataan ruang. Dan ketaatan membutuhkan prasyarat harus memahami apa dan bagaimana rencana tata ruang wilayah di mana masyarakat tersebut tinggal. Di sisi lain, pemerintah juga perlu didorong untuk menyelenggarakan pemerintahaan secara baik ( good governance). Pelibatan masyarakat bisa dipandang sebagai kontrol sosial yang akan mendorong pemerintah untuk konsisten melaksanakan rencana tata ruang yang aspiratif. Bangsa Indonesia terdiri dari berbagai suku, agama, bahasa, dan kebudayaan dan di tiap daerah mempunyai adat istiadat serta ciri-ciri yang berlainan pula. Dengan adanya perbedaan tersebut maka bentuk peran serta atau partisipasi masyarakat tiap daerah dalam penataan ruang akan tidak sama, namun niat yang terkandung dalam keikutsertaannya dapat dikatakan sama yaitu mensukseskan pembangunan daerah maupun nasional. Peran serta masyarakat itu sangat tergantung pada situasi dan kondisi yang berbeda karena keadaan alam, kemampuan berpikir dan budaya hidupnya. Pelaksanaan peran serta masyarakat bisa melalui lokakarya atau konsultasi publik untuk menjaring aspirasi masyarakat yang dilakukan secara bertahap. Tahap pertama lokakarya bisa dilakukan lebih dari satu kali untuk setiap daerah Kabupaten/ Kota. Pada tahap ini setiap warga Kabupaten/ Kota dapat menghadiri acara lokakarya/ konsultasi tersebut yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah. Output workshop pertama adalah serangkaian isu-isu yang terkait pengaturan penataan ruang. Pada tahap ini juga ditentukan wakil-wakil masyarakat yang dapat mengikuti tahap kedua. Tahap kedua merupakan lokakarya atau konsultasi publik pada skala provinsi yang akan mendiskusikan lebih lanjut hasil-hasil diskusi pada tahap pertama. Bila pada tahap pertama masyarakat mengemukakan masalah pengaturan penataan ruang pada skala yang lebih kecil, maka pada tahap kedua, isu yang dibicarakan akan meliputi masalah-masalah pada skala yang lebih luas (provinsi). Pada tahap kedua ini, peserta dapat dibagi dalam beberapa kelompok berdasarkan isu-isu spesifik yang telah dihasilkan pada tahap pertama untuk mempertajam isu dan memperoleh informasi serta tanggapan dari pihak eksekutif dan legislatif. Lokakarya bisa dilakukan lebih dari satu kali tergantung kebutuhan. Bahan yang telah dihasilkan pada kedua tahap lokakarya ini menjadi masukan penting bagi pihak eksekutif dan legislatif dalam penyusunan peraturan daerah pengaturan penataan ruang. Selain melalui workshop, aspirasi dapat dilakukan secara tertulis, lisan dan perantara teknologi yang ada (sms, email, website, dan lain-lain) kepada pihak eksekutif dan legislatif yang memiliki kewenangan dalam menyusun dan menetapkan keputusan Kondisi ideal partisipasi masyarakat adalah berbentuk peranserta masyarakat yaitu berupa aktivitas pendelegasian kekuasaan dan berjalannya kontrol masyarakat terhadap proses penyelenggaraan penataan ruang Sehingga pemerintah di tingkatan manapun perlu menyadari bahwa aktivitas memberikan informasi dan melayani konsultasi belumlah cukup dalam menjalankan amanah UU no 26 tahun 2007. Satu hal lagi yang perlu diingat adalah bahwa pelibatan masyarakat ini hanyalah sebagai alat untuk mencapai tujuan dari penyelenggaraan penataan ruang itu sendiri. 

B. Rumusan Masalah 
1. Bagaimanakah ganbaran umum peran serta masyarakat dan kelembagaan dalam penataan ruang ? 
2. Apakah yang menjadi tujuan pelaksanaan peran serta masyarakat dalam penataan ruang ? 

BAB IIPEMBAHASAN 

A. Peran Serta Masyarakat Dalam Penataan Ruang 
Sebelum lebih jauh membahas mengenai peran serta masyarakat dalam penataan ruang, penulis akan menguraikan mengenai pengertian dari: a) Peran adalah partisipasi aktif masyarakat dalam perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. b) Masyarakat madalah orang perseorangan, kelompok orang termasuk masyarakat hukum adat, korporasi, dan/atau pemangku kepentingan nonpemerintah lain dalam penataan ruang. c) Penataan Ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Dalam konteks penataan ruang, maka peran serta masyarakat dapat didefinisikan sebagai proses keterlibatan masyarakat yang memungkinkan mereka dapat mempengaruhi proses pengambilan keputusan penataan ruang yang meliputi keseluruhan proses sebagaimana disebutkan dalam UU Nomor 26 Tahun 2007 pasal 1 yaitu : pengaturan penataan ruang (ayat 9), pembinaan penataan ruang (ayat 10), pelaksanaan penataan ruang (ayat 11), dan pengawasan penataan ruang (12). Peran serta masyarakat dalam penataan ruang yang diatur pada pasal 72 ayat (1) Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat Nomor 3 Tahun 2010 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2009–2029 yaitu pada tahap : a) proses perencanaan tata ruang; b) pemanfaatan ruang; dan c) pengendalian pemanfaatan ruang. Mengenai bentuk peran serta masyarakat dalam penataan ruang sebagai mana diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 69 Tahun 1996 tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban serta Bentuk Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang yaiatu :  Bentuk peran Masyarakat dalam perencanaan tata ruang berupa : a. masukan mengenai : 1) persiapan penyusunan rencana tata ruang; 2) penentuan arah pengembangan wilayah atau kawasan; 3) pengidentifikasian potensi dan masalah pembangunan wilayah atau kawasan; 4) perumusan konsepsi rencana tata ruang; dan/atau 5) penetapan rencana tata ruang. b. kerja sama dengan pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau sesama unsur masyarakat dalam perencanaan tata ruang.  Bentuk peran masyarakat dalam pemanfaatan ruang dapat berupa : a) masukan mengenai kebijakan pemanfaatan ruang; b) kerja sama dengan Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau sesama unsur masyarakat dalam pemanfaatan ruang; c) kegiatan memanfaatkan ruang yang sesuai dengan kearifan lokal dan rencana tata ruang yang telah ditetapkan; d) peningkatan efisiensi, efektivitas, dan keserasian dalam pemanfaatan ruang darat, ruang laut, ruang udara, dan ruang di dalam bumi dengan memperhatikan kearifan lokal, serta sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; e) kegiatan menjaga kepentingan pertahanan dan keamanan negara, serta memelihara dan meningkatkan kelestarian fungsi lingkungan hidup dan sumber daya alam; dan f) kegiatan investasi dalam pemanfaatan ruang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.  Bentuk peran masyarakat dalam pengendalian pemanfaatan ruang dapat berupa : a) masukan terkait arahan dan/atau peraturan zonasi, perizinan, pemberian insentif dan disinsentif, serta pengenaan sanksi; b) keikutsertaan dalam memantau dan mengawasi pelaksanaan rencana tata ruang yang telah ditetapkan; c) pelaporan kepada instansi dan/atau pejabat yang berwenang dalam hal menemukan dugaan penyimpangan atau pelanggaran kegiatan pemanfaatan ruang yang melanggar rencana tata ruang yang telah ditetapkan; dan d) pengajuan keberatan atas keputusan pejabat yang berwenang terhadap pembangunan yang dianggap tidak sesuai dengan rencana tata ruang. Sebagai salah satu upaya mengantisipasi dan menjaga kesinambungan pembangunan, pemerintah juga telah mengeluarkan UU Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, yang mengatur pula mengenai peran serta masyarakat dalam penataan ruang. Hal ini dapat dilihat pada BAB VIII mengenai Hak, Kewajiban, Dan Peran Masyarakat sebagaimana berikut : Pasal 60 Dalam penataan ruang, setiap orang berhak untuk : a. mengetahui rencana tata ruang b. menikmati pertambahan nilai ruang sebagai akibat penataan ruang c. memperoleh penggantian yang layak atas kerugian yang timbul akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan sesuai dengan rencana tata ruang d. mengajukan keberatan kepada pejabat berwenang terhadap pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang diwilayahnya e. mengajukan tuntutan pembatalan izin dan penghentian pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang kepada pejabat berwenang f. mengajukan gugatan ganti kerugian kepada pemerintah dan/atau pemegang izin apabila kegiatan pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang menimbulkan kerugian Pasal 61 Dalam pemanfaatan ruang, setiap orang wajib a. menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan b. memanfaatkan ruang sesuai dengan izin pemanfaatan ruang dari pejabat yang berwenang c. mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin pemanfaatan ruang d. memberikan akses terhadap kawasan yang oleh ketentuan peraturan penrundang-undangan dinyatakan sebagai milik umum Pasal 62 setiap orang yang melanggar ketentuan sebagai yang dimaksud dalam pasal 61, dikenai sanksi administratif Pasal 63 Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam pasal 62 dapat berupa: a. peringatan tertulis b. penghentian sementara kegiatan c. penghentian sementara pelayanan umum d. penutupan lokasi e. pencabutan izin f. pembatalan izin g. pembongkaran bangunan h. pemulihan fungsi ruang, dan/atau i. denda administratif Pasal 64 Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 diatur dengan peraturan pemerintah Pasal 65 (1) Penyelenggaraan penataan ruang dilakukan oleh pemerintah dengan melibatkan peran masyarakat (2) Peran masyarakat dalam penataan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan antara lain melalui: a. partisipasi dalam penyusunan rencana tata ruang b. partisipasi dalam pemanfaatan ruang; dan c. partisipasi dalam pengendalian pemanfaatan ruang (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan bentuk peran masyarakat dalam penataan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah Pasal 66 (1) Masyarakat yang dirugikan akibat penyelenggaraan penataan ruang dapat mengajukan gugatan melalui pengadilan (2) Dalam hal masyarakat mengajukan gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tergugat dapat membuktikan bahwa tidak terjadi penyimpangan dalam penyelenggaraan penataan ruang. Menurut Dusseldorp, dalam bukunya Pembangunan Masyarakat Berwawasan Partisipasi. Partisipasi masyarakat dapat digolongkan dalam berbagai bentuk sebagai berikut : 1) Partisipasi Bebas, yaitu partisipasi yang dapat terjadi bila individu atau sekelompok masyarakat melibatkan diri dalam kegiatan tersebut secara sukarela dengan penuh kesadaran. Partisipasi bebas dapat dibagi dalam dua subkategori, yaitu: a. Partisipasi Spontan, yaitu suatu partisipasi yang didasarkan pada keyakinan dan kebenaran tanpa adanya pengaruh dari orang lain. b. Partisipasi Terbujuk, yaitu bila seseorang tergerak untuk berpartisipasi karena adanya pihak lain yang menggerakkannya baik melalui sosialisasi atau pun pengaruh sehingga secara sukarela ikut beraktivitas dalam suatu kelompok tertentu. Pihak yang mempengaruhi atau menggerakkan dapat berasal dari aparat pemerintah, pimpinan suatu agama, atau ketua adat dan lembaga lainnya. 2) Partisipasi Terpaksa, yaitu partisipasi yang muncul karena adanya hal-hal yang membatasi atau pun karena situasi dan kondisi yaitu : a. Partisipasi terpaksa karena adanya peraturan yang mengikat (aturan hukum). Dalam rangka menjaga ketertiban umum maka setiap orang dibatasi ruang geraknya karena apabila terjadi suatu pelanggaran norma hukum dapat dikenakan sanksi hukum. Dengan demikian maka setiap individu atau pun masyarakat diwajibkan atau dipaksa untuk mentaati aturan hukum. b. Partipasi terpaksa karena situasi dan kondisi adalah keterlibatan seseorang untuk berpartisipasi karena sudah tidak ada upaya lain. Partisipasi ini dapat bersifat negatif atau positif tergantung dari situasi dan kondisi. Dalam rangka menumbuhkembangkan kegiatan agar masyarakat dapat berperan serta dalam pembangunan secara aktif, maka para petugas lapangan harus dapat menggali dan menangkap aspirasi yagn tumbuh dalam masyarakat serta dapat memanfaatkannya sebagai bahan pertimbangan dalam perencanaan atau pun pelaksanaannya. Peran serta masyarakat tersebut dapat terdiri dari: a) Partisipasi para ilmuwan; dapat berupa hasil seminar, lokakarya, dan diskusi yang membahas tata ruang. b) Partisipasi para pengusaha; dapat berupa saran-saran tentang efektivitas pemanfaatan lokasi maupun bantuan fasilitas. c) Partisipasi para praktisi hukum; dapat berupa saran pencegahan atau penyelesaian permasalahan. d) Masyarakat umum. Pada umumnya masyarakat yang langsung terlibat atau terkena tata ruang tidak bereaksi apapun dan mereka hanya berprinsip tidak dirugikan, namun tidak menutup kemungkinan munculnya beberapa pemuka masyarakat yang secara aktif memberikan saran, pertimbangan, dan pendapat yang positif serta mengikuti perkembangan selanjutnya. Untuk menjamin kelancaran pembangunan maka partisipasi semua pihak tersebut di atas kiranya sangat diperlukan baik dalam bentuk partisipasi bebas, spontan, maupun terbujuk. 

B. Peran Kelembagaan dalam Penataan Ruang 
Sistem kelembagaan penataan ruang tingkat Nasional dikoordinasikan oleh BKPRN (Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional), sedangkan pada tingkat provinsi dikoordinasikan oleh BKPRD (Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah) Provinsi, dan pada tingkat Kabupaten/ Kota dikoordinasikan oleh BPKRD Kabupaten/ Kota. Pada tingkat masyarakat dapat diwakili oleh LSM atau Forum/ Kelompok Masyarakat. Menteri terkait yang berada dalam wadah BKPRN dan Kepala Daerah yang dibantu oleh Bappeda dan BKPRD dengan melibatkan seluruh stakeholder dalam proses penataan ruang berperan dalam level dan tanggung jawab masing-masing untuk : 1. Mengkoordinasikan proses sosialisasi dan adaptasi produk rencana tata ruang kepada masyarakat di setiap daerah 2. Menerima dan memperhatikan saran, pertimbangan, pendapat, tangapan, keberatan, atau masukan yang disampaikan oleh masyarakat dalam penyelenggaraan penataan ruang 3. Menindaklanjuti saran, pertimbangan, pendapat, tangapan, keberatan, atau masukan pada setiap proses penyelenggaraan penataan ruang 4. Meningkatkan komunikasi yang efektif dengan masyarakat dalam penyelenggaraan penataan ruang Peran serta masyarakat dalam penataan ruang menjadi hal yang sangat penting dalam rangka mencipatakan wilayah yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan dengan dibangun berdasarkan kearifan lokal yang mengutamakan kepentingan masyarakat. Oleh karena itu terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu : 1. Menempatkan posisi masyarakat sesuai dengan hak dan kewajibannya sebagai pelaku pembangunan wilayah dengan difasilitasi oleh pemerintah 2. Meningkatkan upaya-upaya untuk mendorong public awareness, public services, dan public campaign 3. Mendorong dan meningkatkan terus fungsi kelembagaan penataan ruang yang efektif, yang dapat mengakomodasi kepentingan masyarakat dalam penyelenggaraan penataan ruang” 

C. Tujuan 
Tujuan dari Peran Masyarakat dalam Penataan Ruang dapat dirumuskan sebagai berikut : a. Menumbuhkembangkan semangat akuntabilitas atau kesadaran atas hak dan kewajiban masyarakat dan stakeholder lainnya dalam memanfaatkan ruang sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan. b. Meningkatkan kesadaran kepada pelaku pembangunan bahwa masyarakat bukanlah obyek pemanfaatan ruang, tetapi justru merekalah pelaku dan pemanfaat utama yang seharusnya terlibat dari proses awal sampai akhir dalam memanfaatkan dan mengendalikan ruang. c. Mendorong masyarakat dan civil society organization atau lembaga swadaya masyarakat untuk lebih berperan dan terlibat dalam memanfaatkan dan mengendalikan ruang. d. Memperkuat posisi Penataan ruang sebagai alat keterpaduan pembangunan lintas sektor dan wilayah sehingga diharapkan pengembangan wilayah dapat direkayasa sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. e. Meningkatkan mutu proses dan produk penataan ruang f. Meningkatkan kesadaran masyarakat agar dapat memahami pentingnya pemanfaataan tanah, air laut dan udara serta sumber daya alam lainnya demi terciptanya tertib ruang (pendidikan dan information exchange) g. Menciptakan mekanisme keterbukaan tentang kebijaksanaan penataan ruang (transparansi kebijakan) h. Menumbuh dan mengembangkan kesadaran dan tanggung jawab masyarakat dalam penatan ruang terutama membantu memberikan informasi tentang pelanggaran pemanfaatan ruang (kontribusi tanggung jawab dan power sharing) i. Menjamin pelibatan secara aktif peran serta masyarakat dalam kegiatan penataan ruang dengan hak dan kewajibannya (demokrasi partisipatori). 

BAB III PENUTUP 

A. Kesimpulan 
Bila kita cermati bersama bahwa peran serta masyarakat yang sejalan dengan UU no 26 tahun 2007, didalamnya mencakup empat kegiatan utama yaitu : pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan penataan ruang. Keempat ruang lingkup tersebut lebih luas dari ruang lingkup yang disebutkan oleh PP no 69 tahun 1996 tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban, serta Bentuk dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang yang hanya mencakup empat hal yaitu perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian penataan ruang, serta pembinaan masyarakat. Mekanisme peran serta masyarakat dilakukan sesuai dengan tahapan kegiatan penataan ruang. Secara umum mekanisme tersebut dapat berbentuk penyampaian informasi, usul dan saran lisan maupun tulisan malalui berbagai media informasi sesuai dengan perkembangan teknologi yang ada (media cetak dan elektronik, seminar, workshop, konsultasi publik, brosur, kegiatan budaya, website, kegiatan pameran, public hearing dengan masyarakat) kepada lembaga-lembaga yang berwenang; dan keterlibatan secara langsung dalam kegiatan penataan ruang, misalnya sebagai salah satu wakil masyarakat yang terlibat dalam penyusunan rencana tata ruang. Selain upaya-upaya yang bersifat individual, mekanisme peran serta masyarakat dapat dilakukan oleh kelompok dan organisasi masyarakat serta organisasi profesi yang melakukan advocacy planning kepada lembaga-lembaga yang berwenang. 

B. Saran 
untuk mendorong agar masyarakat dapat berperan serta secara maksimal dalam kegiatan penataan ruang diperlukan upaya dan tindakan yang konkrit dari aparat. Peranan aparatur sangat dominan karena sifat masyarakat Indonesia yang majemuk dan tersebar di seluruh pelosok tanah air dengan kemampuan serta sifat dan kebudayaan yang beraneka ragam. Oleh karena itu sangat diperlukan adanya kegiatan sosialisasi perencanaan yang akan melibatkan kepentingan rakyat banyak.

PERLINDUNGAN ANAK DI INDONESIA

TUGAS MAKALAH 
HUKUM PERLINDUNGAN ANAK DI INDONESIA 
Oleh : KHAIRUL UMAM 
 ( D1A 009 153 ) 
 FAKULTAS HUKUM 
UNIVERSITAS MATARAM 2012 

 
KATA PENGANTAR
Puji beserta syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah - Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas hukum perlindungan anak dan wanita yang berjudul “Hukum Perlindungan Anak Di Indonesia ’’ ini. Penulis menyadari dalam penyusunan karya tulis ini masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan dalam isi maupun penyusunannya, baik dalam penyajian data, bahasa maupun sistematika pembahasannya. Sebab bak kata pepatah “ tak ada gading yang tak retak atau dengan pepatah lain tak ada ranting yang tak akan patah” , oleh sebab itu Penulis mengharpkan masukan atau kritikan maupun saran yang bersifat membangun demi kesempurnaannya di masa yang akan datang. 
Turida,11 Maret 2012 
 Penulis, 

BAB I PENDAHULUAN 
A. Latar Belakang 
Anak mempunyai hak yang bersifat asasi, sebagaimana yang dimiliki orang dewasa. Pemberitaan yang menyangkut hak anak tidak segencar sebagaimana hak-hak orang dewasa atau isu gender, yang menyangkut hak perempuan. Perlindungan hak anak tidak banyak pihak yang turut memikirkan dan melakukan langkah-langkah kongkrit. Demikian juga upaya untuk melindungi hak-hak anak yang dilanggar yang dilakukan negara, orang dewasa atau bahkan orang tuanya sendiri, tidak begitu menaruh perhatian akan kepentingan masa depan anak. Padahal anak merupakan belahan jiwa, gambaran dan cermin masa depan, aset keluarga, agama, bangsa dan negara. Di berbagai negara dan berbagai tempat di neger i ini , anak-anak justru mengalami perlakuan yang tidak semestinya, seperti eksploitasi anak, kekerasan terhadap anak, dijadikan alat pemuas seks, pekerja anak, diterlantarkan, menjadi anak jalanan dan korban perang/konflik bersenjata. Anak adalah suatu potensi tumbuh kembang suatu Bangsa di masa depan, yang memiliki sifat dan ciri khusus. Kekhususan ini terletak pada sikap dan perilakunya di dalam memahami dunia, yang mesti dihadapinya. Oleh karenanya Anak patut diberi perlindungan secara khusus oleh negara dengan Undang-Undang. Perlindungan anak adalah segala daya upaya bersama yang dilakukan secara sadar oleh perorangan, keluarga, masyarakat, badan-badan pemerintah dan swasta untuk pengamanan, pengadaan, dan pemenuhan kesejahteraan rohaniah dan jasmaniah anak berusia 0-21 tahun, tidak dan belum pernah menikah, sesuai dengan hak asasi dan kepentingannya agar dapat mengembangkan dirinya seoptimal mungkin. Upaya perlindungan hukum bagi anak dapat di artikan sebagai upaya perlindungan hukum terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi anak ( fundamental rights and freedoms of children ) serta berbagai kepentingan yang berhubungan dengan kesejahteraan anak. Jadi masalah perlindungan hukum bagi anak mencakup ruang lingkup yang sangat luas Hukum anak sebenarnya memiliki makna yang tidak sebatas pada persoalan peradilan anak, namun lebih luas dari itu. Undang-undang No. 23/2002 tentang perlindungan anak telah membantu memberikan tafsir, apa-apa saja yang menjadi bagian hukum anak di Indonesia yang dimulai dari hak keperdataan anak di bidang pengasuhan, perwalian dan pengangkatan anak; juga mengatur masalah eksploitasi anak anak di bidang ekonomi, sosial dan seksual. Persoalan lain yang diatur dalam hukum perlindungan anak adalah bagaimana penghukuman bagi orang dewasa yang melakukan kejahatan pada anak-anak dan juga tanggung jawab orang tua, masyarakat dan negara dalam melindungi anak-anak. Dengan demikian cakupan hukum anak sangat luas dan tidak bisa disederhanakan hanya pada bidang pelanggaran hukum yang dilakukan oleh anak-anak. 

B. Rumusan masalah 
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka yang menjadi inti permasalahan adalah: “Bagaimana Hukum Perlindungan Anak Di Indonesia ?” 

BAB II PEMBAHASAN 
A. Anak dalam Aspek Hukum 
Terdapat berbagai ragam pengertian tentang anak di Indonesia, dimana dalam berbagai perangkat hukum berlaku penentuan batas anak yang berbeda-beda pula. Batas usia anak merupakan pengelompokan usia maksimum sebagai wujud kemampuan anak dalam status hukum. Hal tersebut mengakibatkan beralihnya status usia anak menjadi usia dewasa atau menjadi subjek hukum yang dapat bertanggung jawab secara mandiri terhadap perbuatan dan tindakan hukum yang dilakukannya. Beberapa pengertian anak yang terdapat dalam berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia antara lain adalah : 1. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata : Pasal 330 KUHPerdata : “Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin. Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum umur mereka genap 21 tahun, maka mereka tidak kembali dalam kedudukan belum dewasa.” 2. Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak : Pasal 1 angka 2 : “Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin.” 3. Menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak : Pasal 1 angka 1 : “Anak adalah orang yang dlam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.” 4. Menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia : Pasal 1 angka 5 : “Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.” 5. Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak : Pasal 1 angka 1 : “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.” 6. Menurut Hukum Adat : “Ukuran seseorang telah dewasa bukan dari umurnya, tetapi dari ukuran yang dipakai adalah : dapat bekerja sendiri; cakap melakukan yang diisyaratkan dalam kehidupan masyarakat; dapat mengurus kekayaan sendiri.” Hal penting yang perlu diperhatikan dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan anak adalah konsekuensi penerapannya dikaitkan dengan berbagai faktor seperti kondisi ekonomi, sosial politik, dan budaya masyarakat. 

B. Perlindungan Anak 
Perlindungan anak adalah segala usaha yang dilakukan untuk menciptakan kondisi agar setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya demi perkembangan dan pertumbuhan anak tersebut secara wajar, baik fisik, mental, maupun sosial. Hal tersebut adalah sebagai perwujudan adanya keadilan dalam suatu masyarakat. Perlindungan anak tidak boleh dilakukan secara berlebihan dan harus memperhatikan dampaknya terhadap lingkungan maupun diri anak itu sendiri, sehingga usaha perlindungan yang dilakukan tidak menjadi berakibat negatif. Perlindungan anak harus dilaksanakan secara rasional, bertanggungjawab dan bermanfaat yang mencerminkan suatu usaha yang efektif dan efisien terhadap perkembangan pribadi anak yang bersangkutan. Usaha perlindungan anak tidak boleh mengakibatkan matinya inisiatif, kreativitas dan hal-hal lain yang menyebabkan ketergantungan kepada orang lain dan berperilaku tak terkendali. Sehingga anak menjadi tidak memiliki kemampuan dan kemauan dalam menggunakan hak-haknya dan melaksanakan kewajiban-kewajibannya. Dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dijelaskan bahwa perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Hal tersebut didukung dengan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 yang mengatur tentang tujuan perlindungan anak yaitu untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera. Perlindungan anak dapat dilakukan secara langsung maupun secara tidak langsung. Secara langsung, maksudnya kegiatan tersebut langsung ditujukan kepada anak yang menjadi sasaran penanganan langsung. Kegiatan seperti ini, antara lain dapat berupa cara melindungi anak dari berbagai ancaman baik dari luar maupun dari dalam dirinya, mendidik, membina, mendampingi anak dengan berbagai cara, mencegah kelaparan dan mengusahakan kesehatannya dengan berbagai cara, serta dengan cara menyediakan pengembangan diri bagi anak. Sedangkan yang dimaksud dengan perlindungan anak secara tidak langsung adalah kegiatan yang tidak langsung ditujukan kepada anak, melainkan orang lain yang terlibat atau melakukan kegiatan dalam usaha perlindungan terhadap anak tersebut. Dalam Pasal 20 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, telah diatur bahwa yang berkewajiban dan bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak adalah negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua. Jadi yang mengusahakan perlindungan bagi anak adalah setiap anggota masyarakat sesuai dengan kemampuannya dengan berbagai macam usaha dalam situasi dan kondisi tertentu. Perlindungan anak menyangkut berbagai aspek kehidupan agar anak benar-benar dapat tumbuh dan berkembang dengan wajar sesuai dengan hak asasinya. Dalam masyarakat, ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai masalah perlindungan anak dituangkan pada suatu bentuk aturan yang disebut dengan Hukum Perlindungan Anak. Hukum Perlindungan Anak merupakan sebuah aturan yang menjamin mengenai hak-hak dan kewajiban anak yang berupa : hukum adat, hukum perdata, hukum pidana, hukum acara perdata, hukum acara pidana, maupun peraturan lain yang berhubungan dengan permasalahan anak. Dalam bukunya yang berjudul Hukum dan Hak-Hak Anak, mantan hakim agung, Bismar Siregar mengatakan bahwa masalah perlindungan hukum bagi anak-anak merupakan salah satu sisi pendekatan untuk melindungi anak-anak Indonesia, di mana masalahnya tidak semata-mata bisa didekati secara yuridis saja tetapi juga perlu pendekatan yang lebih luas, yaitu ekonomi, sosial dan budaya. Perlindungan khusus terhadap anak yang berada dalam situasi darurat, misalnya anak yang sedang berhadapan dengan hukum serta anak dari kelompok minoritas dan terisolasi diatur secara terperinci dalam Bab VIII Bagian Kelima Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pasal 64 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 menjelaskan bahwa perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 59 adalah meliputi anak yang berkonflik dengan hukum dan anak korban tindak pidana, yang merupakan kewajiban dan tanggungjawab pemerintah dan masyarakat. Penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak meliputi : a. non diskriminasi; b. kepentingan yang terbaik bagi anak; c. hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan d. penghargaan terhadap pendapat anak. Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera. Sebetulnya usaha perlindungan terhadap anak telah cukup lama dibicarakan baik di Indonesia maupun di dunia internasional. Sejak tahun lima puluhan perhatian ke arah terwujudnya peradilan anak telah timbul dimana-mana. Perhatian mengenai masalah perlindungan anak ini tidak akan pernah berhenti, karena disamping merupakan masalah universal juga karena dunia ini akan selalu diisi oleh anak-anak. Sepanjang dunia tidak sepi dari anak-anak, selama itu pula masalah anak akan selalu dibicarakan. Perhatian akan perlunya perlindungan khusus bagi anak berawal dari Deklarasi Jenewa tentang Hak-hak Anak tahun 1924 yang diakui dalam Universal Declaration of Human Right tahun 1958. bertolak dari itu, kemudian pada tanggal 20 Nopember 1958 Majelis Umum PBB mengesahkan Declaration of The Rights of The Child (Deklarasi Hak-hak anak). Sementara itu masalah anak terus dibicarakan dalam konggres-konggres PBB mengenai The Prevention of Crime and The Treatment of Offenders. Pada konggres ke I di Jenewa tahun 1955 dibicarakan topic Prevention of Juvenile Delinquency. Pada tahun 1959 Majelis Umum PBB kembali mengeluarkan pernyataan mengenai hak anak yang merupakan deklarasi internasional kedua bagi hak anak. Tahun 1979 saat dicanangkannya Tahun Anak Internasional, Pemerintah Polandia mengajukan usul bagi perumusan suatu dokumen yang meletakkan standar internasional bagi pengakuan terhadap hak-hak anak dan mengikat secara yuridis. Inilah awal perumusan Konvensi Hak Anak. Tahun 1989, rancangan Konvensi Hak Anak diselesaikan dan pada tahun itu juga naskah akhir tersebut disahkan dengan suara bulat oleh Majelis Umum PBB tanggal 20 November. Konvenan ini kemudian diratifikasi oleh setiap bangsa kecuali oleh Somalia dan Amerika Serikat. C. Instrumen Hukum Instrumen hukum yang mengatur perlindungan hak-hak anak diatur dalam Konvensi PBB tentang Hak-Hak Anak ( Convention on The Rights of The Child ) tahun 1989 (Convention on The Right of The Child, UNICEF, 1990 ), telah di ratifikasi oleh lebih 191 negara. Indonesia sebagai anggota PBB telah meratifikasi dengan Kepres Nomor 36 tahun 1990. Dengan demikian Konvensi PBB tentang Hak Anak tersebut telah menjadi hukum Indonesia dan mengikat seluruh warga Negara Indonesia. Lahirnya Konvensi Hak Anak Gagasan mengenai hak anak pertama kali muncul pasca berakhirnya Perang Dunia I. Sebagai reaksi atas penderitaan yang timbul akibat bencana peperangan terutama yang dialami oleh kaum perempuan dan anak-anak, para aktivis perempuan melakukan protes dengan menggelar pawai. Dalam pawai tersebut, mereka membawa poster-poster yang meminta perhatian publik atas nasib anak-anak yang menjadi korban perang. Salah seorang di antara aktivis tersebut, Eglantyne Jebb, kemudian mengembangkan sepuluh butir pernyataan tentang hak anak yang pada tahun 1923 diadopsi oleh Save the Children Fund International Union. Untuk pertama kalinya, pada tahun 1924, Deklarasi Hak Anak diadopsi secara internasional oleh Liga Bangsa-Bangsa. Selanjutnya, deklarasi ini juga dikenal dengan sebutan Deklarasi Jenewa Konvensi Hak-hak anak merupakan instrument hukum yang berisi rumusan prinsip-prinsip universal dan ketentuan norma hukum mengenai anak. Konvensi hak anak merupakan sebuah perjanjian internasional mengenai hak asasi manusia yang memasukan masing-masing hak-hak sipil, hak politik, hak ekonomi, hak sosial dan hak budaya. Secara garis besar Konvensi Hak Anak dapat dikategorikan sebagai berikut, pertama penegasan hak-hak anak, kedua perlindungan anak oleh negara, ketiga peran serta berbagai pihak (pemerintah, masyarakat dan swasta) dalam menjamin penghormatan terhadap hak-hak anak. Ketentuan hukum mengenai hak-hak anak dalam Konvensi Hak Anak dapat dikelompokan menjadi: 1. Hak terhadap kelangsungan hidup (survival rights) Hak kelangsungan hidup berupa hak-hak anak untuk melestarikan dan mempertahankan hidup dan hak untuk memperoleh standar kesehatan tertinggi dan perawatan yang sebaik-baiknya. Konsekwensinya menurut Konvensi Hak Anak negara harus menjamin kelangsungan hak hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan anak (Pasal 6). Disamping itu negara berkewajiban untuk menjamin hak atas tarap kesehatan tertinggi yang bisa dijangkau, dan melakukan pelayanan kesehatan dan pengobatan, khususnya perawatan kesehatan primer. (Pasal 24). Implementasinya dari Pasal 24, negara berkewajiban untuk melaksanakan program-program (1) melaksanakan upaya penurunan angka kematian bayi dan anak, (2) menyediakan pelayanan kesehatan yang diperlukan, (3) memberantas penyakit dan kekurangan gizi, (4) menyediakan pelayanan kesehatan sebelum dan sesudah melahirkan bagi ibu, (5) memperoleh imformasi dan akses pada pendidikan dan mendapat dukungan pada pengetahuan dasar tentang kesehatan dan gizi, (6) mengembangkan perawatan kesehatan pencegahan, bimbingan bagi orang tua, serta penyuluhan keluarga berencana, dan, (7) mengambil tindakan untuk menghilangkan praktik tradisional yang berprasangka buruk terhadap pelayanan kesehatan. Terkait dengan itu, hak anak akan kelangsungan hidup dapat berupa (1) hak anak untuk mendapatkan nama dan kewarganegaraan semenjak dilahirkan (Pasal 7), (2) hak untuk memperoleh perlindungan dan memulihkan kembali aspek dasar jati diri anak (nama, kewargnegaraan dn ikatan keluarga) (Pasal 8), (3) hak anak untuk hidup bersama (Pasal 9), dan hak anak untuk memperoleh perlindungan dari segala bentuk salah perlakuan (abuse) yang dilakukan orang tua atau orang lain yang bertangung jawab atas pengasuhan (Pasal 19), (4) hak untuk mmemperoleh perlindungan khusus bagi bagi anak- anak yang kehilangan lingkungan keluarganya dan menjamin pengusahaan keluarga atau penempatan institusional yang sesuai dengan mempertimbangkan latar budaya anak (Pasal 20), (5) adopsi anak hanya dibolehkan dan dilakukan demi kepentingan terbaik anak, dengan segala perlindungan yang disahkan oleh pejabat yang berwenang (Pasal 21), (6) hak-hak anak penyandang cacat (disabled) untuk memperoleh pengasuhan, pendidikan dan latihan khusus yang dirancang untuk membantu mereka demi mencapai tingkat kepercayaan diri yang tinggi (Pasal 23), (7) hak anak menikmati standar kehidupan yang memadai dan hak atas pendidikan (Pasal 27 dan 28). 2. Hak terhadap perlindungan (protection rights) Hak perlindungan yaitu perlindungan anak dari diskriminasi, tindak kekerasan dan keterlantaran bagi anak yang tidak mempunyai keluarga, dan bagi anak pengungsi. Hak perlindungan dari diskriminasi, termasuk (1) perlindungan anak penyandang cacat untuk memperoleh pendidikan, perwatan dan latihan khusus, dan (2) hak anak dari kelompok masyarakat minoritas dan penduduk asli dalam kehidupan masyarakat negara. Perlindungan dari ekploitasi, meliputi (1) perlindungan dari gangguan kehidupan pribadi, (2) perlindungan dari keterlibatan dalam pekerjaan yang mengancam kesehatan, pendidikan dan perkembangan anak, (3) perlindungan dari penyalahgunaan obat bius dan narkoba, perlindungan dari upaya penganiayaan seksual, prostitusi, dan pornografi, (4) perlindungan upaya penjualan, penyelundupan dan penculikan anak, dan (5) perlindungan dari proses hukum bagi anak yang didakwa atau diputus telah melakukan pelanggaran hukum. 3. Hak untuk Tumbuh Berkembang (development rights) Hak tumbuh berkembang meliputi segala bentuk pendidikan (formal maupun non formal) dan hak untuk mencapai standar hidup yang layak bagi perkembangan fisik, mental, spiritual, moral dan sosial anak. Hak anak atas pendidikan diatur pada Pasal 28 Konvensi Hak Anak menyebutkan, (1) negara menjamin kewajiban pendidikan dasar dan menyediakan secara cuma-cuma, (2) mendorong pengembangan macam-macam bentuk pendidikan dan mudah dijangkau oleh setiap anak, (3) membuat imformasi dan bimbingan pendidikan dan ketrampIlan bagi anak, dan (4) mengambil langkah-langkah untuk mendorong kehadirannya secara teratur di sekolah dan pengurangan angka putus sekolah. Terkait dengan itu, juga meliputi (1) hak untuk memperoleh informasi, (2) hak untuk bermain dan rekreasi, (3) hak untuk berpartisipasi dalam kegiatan budaya, (4) hak untuk kebebasan berpikir dan beragama, (5) hak untuk mengembangkan kepribadian,(6) hak untuk memperoleh identitas, (7) hak untuk didengar pendapatnya, dan (8) hak untuk memperoleh pengembangan kesehatan dan fisik. 4. Hak untuk Berpartisipasi (participation rights) Hak untuk berpartisipasi yaitu hak untuk menyatakan pendapat dalam segala hal yang mempengaruhi anak. Hak yang terkait dengan itu meliputi (1) hak untuk berpendapat dan memperoleh pertimbangan atas pendapatnya, (2) hak untuk mendapat dan mengetahui informasi serta untuk mengekpresikan, (3) hak untuk berserikat menjalin hubungan untuk bergabung, dan (4) hak untuk memperoleh imformasi yang layak dan terlindung dari imformasi yang tidak sehat. Terhadap anak yang melakukan perbuatan pidana, penangkapan dan penahanan anak harus sesuai dengan hukum yang ada, yang digunakan hanya sebagai upaya terakhir. Anak yang dicabut kebebasannya harus memperoleh akses bantuan hukum, dan hak melawan keabsahan pencabutan kebebasan. 

BAB III PENUTUP 
A. Kesimpulan 
Anak sebagai bagian dari generasi muda merupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa sekaligus modal sumberdaya manusia bagi pembangunan nasional. Melihat arti pentingnya anak bagi kelangsungan bangsa dan negara, pemerintah tetap memandang perlu adanya acuan yuridis formal yang mengatur tentang pelaksanaan perlindungan anak. Atas dasar pertimbangan tersebut, pemerintah telah menerbitkan peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur tentang perlindungan anak yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Disebutkan dalam Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 bahwa yang dimaksud dengan perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Seiring dengan perkembangan jaman, perlindungan terhadap anak semakin dituntut pelaksanaannya. Perkembangan teknologi dan budaya yang terjadi dewasa ini telah memunculkan beberapa efek positif dan negatif dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Oleh karena itu menjadi kewajiban bagi orang dewasa, baik orang tua, keluarga, masyarakat maupun bangsa untuk memberikan jaminan, memelihara dan mengamankan kepentingan anak serta melindungi dari gangguan yang datang dari luar maupun dari anak itu sendiri. Asuhan anak, terutama menjadi kewajiban dan tanggung jawab orang tua di lingkungan keluarga, akan tetapi demi kepentingan kelangsungan tata sosial maupun untuk kepentingan anak itu sendiri, perlu adanya campur tangan dari pemerintah. 

B. Saran 
Perlindungan anak dapat dilakukan secara langsung maupun secara tidak langsung. Secara langsung, maksudnya kegiatan tersebut langsung ditujukan kepada anak yang menjadi sasaran penanganan langsung. Kegiatan seperti ini, antara lain dapat berupa cara melindungi anak dari berbagai ancaman baik dari luar maupun dari dalam dirinya, mendidik, membina, mendampingi anak dengan berbagai cara, mencegah kelaparan dan mengusahakan kesehatannya dengan berbagai cara, serta dengan cara menyediakan pengembangan diri bagi anak. Sedangkan yang dimaksud dengan perlindungan anak secara tidak langsung adalah kegiatan yang tidak langsung ditujukan kepada anak, melainkan orang lain yang terlibat atau melakukan kegiatan dalam usaha perlindungan terhadap anak tersebut.

PERKEMBANGAN dan PERTUMBUHAN HUKUM ISLAM

MAKALAH HUKUM ISLAM 
PERKEMBANGAN dan PERTUMBUHAN HUKUM ISLAM 

 Oleh : KHAIRUL UMAM ( D1A 009 153 ) 
 FAKULTAS HUKUM 
UNIVERSITAS MATARAM 
2010 

KATA PENGANTAR 
Tiada kata yang paling pas untuk diucapkan penulis kecuali Alhamdulillah, sebagai rasa puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufik dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas Hukum Islam ini. Mata kuliah Hukum Islam merupakan mata kuliah yang harus dapat dituntaskan agar dapat mengambil mata kuliah selanjutnya, Hukum Islam merupakan salah satu hukum yang diajarkan diseluruh Fakultas Hukum di Indonesia, karena di indonesia sebagian besar penduduk indonesia beragama islam, sehingga Hukum Islam menjadi salah satu hukum yang digunakan oleh penduduk yang beragama islam dalam menentukan hukum sesuatu. Disamping hukum barat dan hukum adat, indonesia juga memiliki hukum islam yang mempengaruhi hukum nasionalnya. Penulis menyadari bahwa didalam makalah ini terdapat banyak kekurangan sehingga penulis sangat meharapkan saran, kritik dan tentunya bimbingan dari Bapak Dosen.
Turida, 1 Desember 2010 
 Penulis 


DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................
 A. Latar Belakang ....................................................................................
B. Rumusan Masalah…………………………………………………………
BAB II PEMBAHASAN...................................................................................
A. Masa Pembinaan, Pengembangan dan Pembukuan (abad VII - X M)…
B. Masa Kelesuan Pemikiran (abad X M – XIX M)………………………
C. Masa Kembangkitan Kembali (abad XIX M sampai sekarang)………..
BAB III PENUTUP...........................................................................................
 A. Kesimpulan..........................................................................................
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................




BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pertumbuhan dan perkembangan hukum islam didalam dunia hukum sangatlah memberi pengaruh besar terhadap hukum-hukum yang ada didunia, bahkan Negara barat kini mulai mempelajari hukum islam, karena menurut mereka hukum islam merupakan hukum yang sempurna yang mampu member rasa keadilan didalam penerapannya. Didorong oleh apa yang telah di kemukakan di atas dan kesadaran akan pentingnya arti hukum islam bagi ilmu pengetahuan, di eropa sekarang, beberapa fakultas hukum prancis misalnya, mengajarkan hukum islam. Yang mendorong mereka mengadakan mata kuliah tersendiri untuk hukum islam adalah kenyataan bahwa hukum islam merupakan satu di antara system-sistem hukum besar yang hidup didunia sekarang. D. De santilana, seorang ahli hukum terkenal bangsa italia, menyebutkan bahwa yang mendorong orang barat mempelajari hukum islam adalah karena hukum islam merupakan sumber pasti dan positif bagi prinsip-prinsip hukum-hukum eropa modern. Agama Islam sebagai induk hukum Islam muncul disemenanjung Arab, suatu daerah tandus yang dikelilingi oleh laut pada ketiga sisinya dan lautan pasir pada sisi keempat. Disanalah Nabi Muhammad dilahirkan dan menyebarkan sebuah agama yang menjadi rahmat bagi seluruh alam yakni agama islam utntuk pertama kalinya. Nabi Muhammad saw mendapatkan wahyu dari Allah SWT pertama kali pada hari Senin tanggal 17 Ramadhan tahun ke-41 dari kelahirannya, bertepatan dengan tanggal 6 Agustus 610 M. Semenjak saat itu, Muhammad bin Abdullah mengemban amanat nubuwwah dari Allah SWT untuk membawa agama Islam ke tengah-tengah manusia, yang ternyata merupakan sebuah ajaran yang merombak seluruh sistem sosial, terutama sistem hukum yang ada pada masyarakat Jahiliyyah. Islam datang ke tengah-tengah masyarakat Jahiliyyah dengan membawa syari'ah (sistem hukum) yang sempurna sehingga mampu mengatur relasi yang adil dan baik antar individu manusia dalam masyarakat. Secara prinsip, kemunculan Nabi Muhammad saw dengan membawa ajaran-ajaran baik, dapat dinilai sebagai sebuah perubahan sosial terhadap kejahiliyyahan yang sedang terjadi di dalam masyarakat, terutama sistem hukumnya, dengan wahyu dan petunjuk dari Allah SWT. Adapun tahap-tahap didalam perkembangan dan pertumbuhan hukum islam sebagaimana dikemukakan oleh penulis-penulis sejarah hukum Islam pada umumnya telah melakukan pembagian mengenai tahap-tahap pertumbuhan dan perkembangan hukum islam. Pada umumnya para penulis sejarah hukum islam membagi tahap-tahap pertumbuhan serta perkembangan hukum islam adalah menjadi 5 masa berikut ini: a) Masa Nabi Muhammad (610 M - 632 M) b) Masa khulafa Rasyyidin (632 M – 662 M) c) Masa Pembinaan, Pengembangan dan Pembukuan (abad VII - X M) d) Masa Kelesuan Pemikiran (abad X M – XIX M) e) Masa Kembangkitan Kembali (abad XIX M sampai sekarang). Masa Nabi Muhammad merupakan masa kelahiran hukum islam, kemudian setelah Nabi Muhammad wafat, hukum-hukum yang dijadikan sebagai sumber hukum datang dari Khulafa Rasyyidin, yang merupakan masa kedua daari perkembangan hukum islam. Hukum-hukum yang diterapkan pada masa Khulafa Rasyyidin adalah berdasarkan kemampuan dan pengetahuan yang diperoleh dari nabi Muhammad S.A.W. Kedua masa di atas telah banyak di jelaskan oleh para tokoh-tokoh agama didalam pengajian-pengajian, sehingga dalam makalah yang penulis susun akan membahas mengenai Masa Pembinaan, Pengembangan dan Pembukuan, Masa Kelesuan Pemikiran dan Masa Kembangkitan Kembali, yang kurang banyak dibahas dan diketahui oleh masyarakat pada umumnya dan mahasiswa pada umummya. B. Rumusan Masalah Makalah yang penulis susun akan menguraikan mengenai bagaimana perkembangan hukum islam dari : a) Masa Pembinaan, Pengembangan dan Pembukuan (abad VII - X M) b) Masa Kelesuan Pemikiran (abad X M – XIX M) c) Masa Kembangkitan Kembali (abad XIX M sampai sekarang) BAB II PEMBAHASAN A. MASA PEMBINAAN, PENGEMBANGAN, DAN PEMBUKUAN (ABAD VII-X M) Disamping periode Nabi Muhammad dan periode Khulafa Rasyidin yang telah di uraikan di atas, periode Pembinaan, Pengembangan, dan Pembukuan Hukum Fiqih Islam perlu dikaji dan dipahami dengan baik, karena dalam periode inilah hukum islam dikembangkan lebih lanjut. Periode ini berlangsung lebih kurang dua ratus lima puluh tahun lamanya, dimulai pada bagian kedua abad keVII sampai dengan abad X masehi. hukum fiqih islam berkembang dimasa Umayyyah dan berbuah di zaman Abbasiyah1. Hukum fiqih islam sebagai salah satu aspek kebuadayaan islam mencapai puncak perkembangannya di zaman Khalifah Abbasiyah yang memerintah selama lebih kurang lima ratus tahun. Di masa inilah (1) lahir para ahli hukum islam dan merumuskan garis-garis hukum fiqih islam serta (2) muncul berbagai teori hukum yang masih dianut dan dipergunakan oleh umat islam sampai sekarang. Gerakan ijtihad yakni gerakan untuk mempergunakan seluruh kemampuan pikiran dalam memahami ketentuan hukum islam yang tercantum di dalam ayat-ayat hukum dalam Al-quran dan Sunnah Nabi Muhammad dan merumuskannya menjadi garis-garis hukum yang mengatur segala bidang hidup dan kehidupan manusia oleh orang-orang yang memenuhi syarat. Orang yang melakukan demikian disebut mujtahid yakni orang yang berijtihad. Menurut kualitas dan hasil karyanya para mujtahid itu dapat diklasifikasikan menjadi (1) mujtahid mutlak yaitu para ulama (jamak dari alim = orang berilmu) para mujtahid mutlak ini seperti Abu Hanifah, Malaik bin Anas, As-Syafi’i, Ahamad bin Hambal dengan pengetahuannya yang sangat luas mampu menetapkan garis-garis hokum melalui ijtihadnya. (2) mujtahid mazhab adalah orang yang merumuskan dasar-dasar ajaran yang telah diberikan oleh mujtahid mutlak. Dengan ilmunya yang luas mujtahid mazhab dapat menetapkan hukum yang belum ditetapkan oleh mujtahid mutlak. Contohnya adalah Al-Gazali dengan kitabnya al-Basith. (3) mujtahid fatwa yaitu orang yang melanjutkan pekerjaan mujtahid mazhab untuk menentukan hukum suatu masalah yang timbul dalam masyarakat. Contoh dikemukakan imam an-Nawawi dalam bukunya minhaj at-talibin( jalan bagi para siswa). (4) Ahli Tarjih, yaitu orang-orang yang dengan ilmu pengetahuan yang ada padanya dapat membanding-bandingkan mana yang lebih “kuat” pendapat ayng ada, serta member penjelasan atau komentar atas pendapat yang berbeda yang dikemukakan oleh para mujtahid tersebut diatas. Untuk mujtahid yang ke empat ini sering pula disebut muqallid kalau ia hanya mengikuti saja pendapat para mujtahid lainnya dengan taqlid. 1Hazairin. Pengantar Hukum Islam. Jakarta: Grafindo.1955 Faktor-faktor yang mendorong orang menetapkan hukum dan merumuskan garis-garis hukum adalah : (a) wilayah islam sudah sangat luas, terdapat berbagai suku bangsa, adat istiadat, cara hidup dan kepentingan yang berbeda. Untuk dapat menyatukan mereka semua didalam satu pola kehidupan hukum, diperlukan pedoman yang jelas yang mengatur tingkah laku mereka dalam berbagai bidang hidup dan kehidupan; (b) telah adanya karya-karya tulis tentang hukum yang dapat dipergunakan sebagai bahan dan landasan untuk membangun serta mambangun hukum fiqih islam; (c) telah tersedia pula para ahli yang mampu berijtihad memecahkan berbagai masalah hukum dan masyarakat. Dalam periode inilah timbul para mujtahid atau imam tersebut di atas. Dulu jumlahnya banyak, akan tetapi yang masih di ikuti sampai sekarang ada empat , yakni ; 1. Abu Hanifah ( Al- Nukman ibn Tsabit) : 700-767 M Ia hidup di khufah, yang letaknya jauh dari madinah tempat Nabai Muhammad hidup dahulu. Berbeda dengan madinah, di tempat banyak orang mendengar dan mengetahui Sunnah nabi, di khufah (a) banyak orang yang tidak mengetahui benar tentang Sunnah Nabi Muhammad. (b) keadaan masyarakat di khufah sangat berbeda dengan masyarakat madinah. (c) intensitas penggunaan sumber hukum yang berbeda. Di khufah lebih banyak mempergunakan pendapat dan pemikiran sendiri dengan qiyas atau analaogi sebagai alatnya. Mazhab ini dianut sekarang di Turki, Syiria, Irak Afganistan, Pakistan, India, Cina, dan Uni Soviet. Dibeberapa Negara Islam, seperti Syiria, Libanon dan Mesir, mashab Hanafi menjadi mazhab hukum resmi. Sumber hukum yang mereka pergunakan adalah Al-qur’an, Sunnah, dan Ra’yu, dengan ijmak, Qiyas, Istihsan serta Urf atau adat kebiasaan yang baik masyarakat setempat sebagai metode menemukan hukum. 2. Malik bin Anas : 713-795 M Malik bin Anas hidup dan mengembangkan fahamnya dimadinah di mana banyak orang yang mengetahui Sunnah nabi. Oleh karena itu Malik banyak mempergunakan Sunnah dalam memecahkan persoalan hukum. Malik sendir menjadi pengumpul Sunnah Nabi. Ia mmenyusunnya dalam kitab hadist yang terkenal dengan nama al-Muwatta’ (al-muwathtak: jejak langkah, perrintis). Mashab Maliki (yang dihubungkan pada Malik bin Anas) di anut sekarang di Maroko, Al-Jazair, Libiya, Mesir Selatan, Sudan, Bahrain, dan Kwait. Sumber hukumnya adalah Alquran dan Sunnah Nabi, dengan Ijmak penduduk madinah, Qiyas dan Masalih Al-Mursalah (kemaslahatan atau kepentingan umum). Sebagai metodenya atau alat menemukan hukum untuk diterapkan pada suatu kasus yang konkret. 3. Muhammad Idris As-Syafi’i ; 767-820 M Ia belajar hukum fiqih islam dari para mujtahid mazhab Hanafi dan Malik bin Anas. Karena itu pula ia mengenal baik kedua aliran hukum itu baik tentang sumber hukum maupun mengenai metode yang mereka pergunakan. Karena itu pula ia dapat menyatukan kedua aliran itu dan merumuskan sumber-sumber hukum (fiqih) Islam (baru). Dalam kepustakaan hukum islam ia disebut sebagai Master architect (arsitek agung) sumber-sumber hukum (fiqih) islam karena dialah ahli hukum islam pertama yang menyusun ilmu usl al-fiqh (usul fiqih) yakni ilmu tentang sumber-sumber hukum fiqih islam dalam bukunya yang terkenal ar-Risalah ( pengantar dasar-dasar hukum islam). Dalam buku itu dikemukakannya bahwa sumber-sumber hukum (fiqih) islam adalah Alquran, Sunnah, Ijmak dan Qiyas. Syafi’i banyak menulis buku, diantaranya yang terkenal adalah al-Umm (induk) dan ar-Risalah tersebut diatas. Mazhab Syafi’i sekarang di ikuti di Mesir, Palestina, ( juga dibeberapa tempat di Syiria dan Libanon, Irak dan India), Muangthai, Filipina, Malaysia, dan Indonesia. Sumber hukumnya adalah Alquran, Sunnah, Ijmak, Qiyas, dan Istishab, yaitu penerusan berlakunya ketentuan hukum yang telah ada, karena tidak terlihat adanya dalil yang mengubah ketentuan hukum tersebut. 4. Ahmad bin Hambal (Hambal); 781-855 M Ia belajar hukum dari beberapa ahli, termasuk syafi’i, di beberapa tempat. Selain ahli hukum ia ahli pula tentang hadis Nabi. Berdasarkan keahliannya itu, seperti halnya Malik bin Anas, ia menyusun kitab hadis terkenal bernama al-Musnad atau (kadangkadang ditulis) al-Masnad. Pendapat Ahmad bin Hambal ini menjadi pendapat resmi (Negara) di Saudi Arabia ( sekarang ). Dibandingkan dengan aliran-aliran hukum tersebutdi atas Mazhab Hambali ini yang paling sedikit penganutnya. Sumber hukumya adalah sama dengan Syafi’i dengan menekankan atau mengutamakan Alquran dan Sunnah. Keempat pendiri mazhab yang di sebut “imam” ini menyatakan bahwa sumber-sumber (pengambilan) hukum mereka adalah Alquran dan Sunnah nabi. Sementara itu mereka juga menemukan juga cara atau metode pembentukan hukum melaui Ijmak dan Qiyas yang kemudian di akui dan dinyatakan oleh Syafi’i sebagai sumber hukum ketiga dan keempat. Keempat mazhab tersebut di atas mempunyai pendapat sendiri tentang hukum atau garis-garis hukum mengenai berbagai masalah hukum baik di bidang ibadah maupun muamalah. Selain perkembangan pemikiran hukum di atas, dalam periode ini pulalah lahir teori penilaian mengenai baik buruknya suatu perbuatan yang di lakukan oleh manusia yang terkenal dengan nama al-ahkam al-khamsah (hukum taklifi) yang telah di uraikan dimuka. Dan, sebagaimana diketahui, sumber utama hukum islam adalah Alquran dan Sunnah Nabi Muhammad. Alquran sudah dicatat di masa nabi Muhammad, di himpun dalam satu naskah di zaman Khalifah Abu Bakar, dua tahun setelah Nabi Muhammad meninggal dunia dan disalin serta dibakukan dalam satu mushaf Alquran standar di zaman Khalifah Usman. Sebagaimana telah di kemukakan di muka, berdasarkan cara pemberitaan atau “ jumlah “ orang yang menyampaikannya secara lisan turun temurun, hadis atau sunnah nabi dapat di bagi kedalam (1) mutawatir, (2) masyhur dan (3) ahad (; ada juga yang mengelompokkannya kedalam : mutawatir dan ahad ). Dan berdasarkan kualitas atau tingkat sanadnya yakni mata rantai (rangkaian) nama orang-orang yang meriwayatkansesuatu hadis, hadis atau sunnah nabi di bagi ke dalam tiga kategori yakni; (a) Sahih (sehat), (b) Hasan (baik/bagus) (c) Da’if (lemah). Bukhari, seperti telah disebutkan juga di depan, mengemukakan lima kategori untuk menentukan pengelompokan hadis atau sunnah nabi itu kedalam sahih, hasan dan da’if. Ke lima katagori itu adalah (1) kekuatan ingatan para perawinya yakni orang yang menyampaikan hadis atau sunnah nabi itu secara lisan turun temurun, (2) kejujurannya (3) tidak terputus-putus mata rantai perawi hadis bersangkutan ( sanad-nya) (4) isinya tidak cacat, dan (5) tidak ada kejanggalan kalau dipandang dari sudut bahasa atau tata bahasa. Kalau semua di penuhi, hadis itu di sebut sahih, satu atau dau kurang disebut hasan, lebih dari dua di sebut da’if. Orang yang mempergunakan hadis atau sunnah nabi sebagai sumber hukum, harus mengetahui benar tentang seluk beluk hadis atau sunnah nabi, sekurang-kurangnya mengetahui pengelompokan atau derajat hadis atau sunnah nabi tersebut. Demikianlah, atas usaha para ahli, pada pertengahan abad ketiga hijriah atau akhir abad ke-9 dan permulaan abad ke-10 M tersusunlah kitab hadis yang terkenal dengan nama al-kutub as-sittah2 ( enam buah kitab hadis) masing-masing karya : 1. Bukhari, meninggal tahun 256 H/ 870 M 2. Muslim , meninggal tahun 261 H/ 875 M 3. Ibnu Majah, meninggal tahun 273 H/ 877 M 4. Abu Daud, menginggal tahu 275 H/ 889 M 5. At-Tarmizi, meninggal tahun 279 H/ 892 M 6. An-Nasa’i, meninggal tahu 303 H/ 915 M Dari angka-angka tahun meninggalnya para penyusun kitab-kitab hadis di atas, dapt di ketahui bahwa mazhab atau aliran hukum islam telah terbentuk sebelum al-kutub as-sittah ( enam buah kita hadis) itu disusun. Salain itu, perlu di catat pula bahwa pada periode ini puluhan metode-metode tertentu pengembilan hukum dari Alquran dan Sunnah, penetapan dan penemuan hukum yang tidak ada ketentuannya dalam kedua sumber utama hukum itu dikembangkan. Yang terpenting di antaranya adalah ; Ijmak, Qiyas, Masalih al-Mursalah, Istihsan,Istisbah, Al-Urf yang telah di sebutkan di atas3. 2Ahmad Salabi. Masa Depan Hukum Islam. Jakarta: gramedia.1964 3 H.M. Rasjidi. Sejarah Hukum Islam.1973 B. MASA KELESUHAN PEMIKIRAN (ABAD X-XI-XIX M) Sejak permulaan abad ke-4 hijriah atau abad ke-10-11 masehi, ilmu hukum islam mulai berhenti berkembang. Ini terjadi di akhir (pengujung) pemerintahan atau dinasti Abasiyah. Pada masa ini para ahli hukum hanya membatasi diri mempelajari pikiran-pikiran para ahli sebelumnya yang telah di tuangkan kedalam buku berbagai mazhab. Yang di permasalahkan tidak lagi soal-soal dasar atau soal-soal pokok tetapi soal-soal kecil yang biasa disebut dengan istilah furu’ (ranting). Sejak itu, mulailah gejala mengikuti beda pendapat para ahli sebelumnya (ittiba’-taqlid). Para ahli hukum dalam masa ini, tidak lagi menggali hukum (fiqih) islam dari sumbernya yang asli, tetapi hanya sekedar mngikuti pendapat-pendapat yang telah ada dalam dan mazhabnya masing-masing. Kalau orang menulis tentang masalah hukum, tulisannya itu biasanya hanya merupakan komentar atau catatan-catatan terhadap pikiran-pikiran hukum yang terdapat dan telah ada dalam mazhabnya sendiri. Dengan kata lain, yang menjadi ciri umum pemikiran hukum dalam periode ini adalah para ahli hukum tidak lagi memusatkan usahanya untuk memehami prinsip-prinsip atau ayat-ayat hukum yang terdapat dalam Alquran dan Sunnah Nabi Muhammad, tetapi pikirannya di tumpukan pada pemahaman perkataa-perkataan, pikiran-pikiran hukum para imamnya saja. Dinamika masyarakat yang terjadi terus menerus itu tidak lagi di tampung dengan pengembangan pemikiran hukum pula. Dengan kata lain, masyarakat terus berkembang sedang pemikiran hukumnya berhenti. Terjadilah “kemunduran” dalam perkembangan hukum islam. Diantara faktor-faktor atau keadaan yang menyebabkan “kemunduran” atau kelesuan pikiran hukum islam dimasa itu adalah hal-hal berikut : 1. Kesatuan wilayah islam yang luas telah ratak dengan munculnya beberapa Negara baru, baik di eropa (sepanyol), Afrika Utara, di kawasan timur tengah, dan Asia. Munculnya Negara-negara baru itu membawa ketidak setabilan politik. Hal ini mempengaruhi kegiatan pemikiran dan peman tapan hukum. 2. Ketidak setabilan politik menyebabkan pila ketidak setabilan kebebasan berfikir. Artinya orang tidak bebas mengutarakan pendapatnya. Dan karena pada zaman sebelumnya telah terbentuk aliran-aliran pemikiran hukum yang disebut dengan mazhab-mazhab (yang empat) itu, para ahli hukum dalam periode ini tinggal memilih (ittiba’) atau mengikuti (taqlid) saja pada salah satu diantaranya, memperkuat, memperjelas hal-hal yang terdapat dalam mazhabnya itu dengan berbagai penafsiran dan cara. Sikap yang seperti ini menyebabkan “ jiwa atau ruh ijtihad ” yang menyala-nyala di zaman-zaman sebelumnya menjadi padam dan para ahli mengikuti saja paham yang telah ada dalam mazhabnya. 3. Pecahnya kesatuan kenagaraan atau pemerintahan itu menyebabkan merosotnya pula kewibawaan pengendalian perkembangan hukum. Dan bersamaan dengan itu muncul pula orang-orang yang sebenarnya tidak mempunyai kelayakan untuk berijtihad, namun mengeluarkan berbagai garis hukum dalam bentuk “fatwa” yang membingungkan masyarakat. Kesimpangsiuran pendapat yang sering kali bertantangan, menyebabkan pihak yang berkuasa memerintahkan para mufti serta kadi-kadi ( para hakim ) untuk mengikuti saja pemikiran-pemikiran yang telah ada sebelumnya. Dengan langkah ini di maksudkan “kesimpang siuran “ pemikiran hukum akan di hentikan tetapi justru dengan itu “kebekuan” pemikiran hukum terjadi bersamaan denga itu pulla di kumandangkan pendapat bahwa “ pintu ijtihad atau bab al-ijtihad (baca; babul ijtihad) telah tertutup”. 4. Timbullah gejala kelesuhan berfikir dimana-mana. Karena kelesuhan berfikir itu, para ahli tidak mampu lagi menghadapi perkembangan keadaan dengan mempergunakan akal pikiran yang mardeka dan bertanggung jawab. Dan dengan demikian pula perkembangan hukum islam pada periode ini menjadi lesu, tidak berdaya lagi menghadapi dan menjawab tantangan-tangan zamannya4. C. MASA KEBANGKITAN KEMBALI (ABAD KE-19 SAMPAI SEKARANG) Setelah mengalami kelesuhan, kemunduran beberapa abad lamanya, pemikiran islam bangkit kembali. Ini terjadi pada bagian ke-2 abad ke-19. Kebangkitan kembali pikiran islam timbul sebagai reaksi terhadap sikap taqlid tersebut di atas yang telah membawa kemunduran hukum islam. Muncullah gerakan-gerakan baru di antara gerakan para ahli hukum yang menyarankan kembali kepada Alquran dan Sunnah. Gerakan itu dalam kepustakaan di sebut gerakan salaf (salafiyah) yang ingin kembali kepada kemurian ajaran islam di zaman salaf (=permulaan ) generasi awal dahulu. Sebagai reaksi terhadap reaksi sikap taqlid di atas, sesungguhnya pada periode kemunduran itu sendiri telah muncul beberapa ahli yang ingin tetap melakukan ijtihad, untuk menampung dan mengatasi persoalan-persoalan oerkembangan masyarakat. Pada abad ke-14 telah timbul seorang mujtahid besar yang menghembuskan udara baru dan segar dalam dunia pemikiran agama dan hukum. Namaya Ibnu Taimiyyah (1263-1328) dan muridnya Ibnu Qayyim al-jauziyah (1292-1356). Pola pemikiran meeka di lanjutkan pada abad ke-17 oleh Muhammad Ibnu Abdul Wahab (1703-1787) yang terkenal dengan gerakan wahabi yang mempunyai pada gerakan padri di minangkabau (Indonesia). Usaha ini dilanjutkan oleh Jamaluddin Al-Afghani (1839-1897) terutama di lapangan politik5. 4A. Hanafi. Sejarah Hukum Islam. Jakarta: Gramedia.1970 (174-145) 5H.M. Rasjidi. Sejarah Hukum Islam.1976:20 Paham Ibnu Taimiyyah, seorang tokoh pemikir abad ke-14 M tersebut, yang membagi ruang lingkup agama islam ke dalam dua bidang besar yakni ibadah dan mu’amalah, dikembangkan lebih lanjut oleh Muhammad Abduh. Pembaharuan pemikiran yang dilakukan oleh Muhammad Abduh6. Dianataranya adalah: (1) membersihkan islam dari pengaruh-prngaruh dan kebiasaan-kebiasaan yang bukan islam; (2) mengadakan pembaharuan dalam system pendidikan islam, terutama di tingkat perguruan tinggi; (3) merumuskan dan menyatakan kembali ajaran islam menurut alam pikiran modern; (4) mempertahankan atau membela (ajaran) islam dari pengaruh barat dan serangan agama lain; (5) membebaskan negeri-negeri yang penduduknya beragama islam dari belenggu penjajahan. Mengenai mazhab, Abduh mengatakan bahwa aliran pikiran yang berbeda dalam suatu masyarakat adalah biasa. Itulah yang keliru karena dapat membahayakan persatuan dan kesatuan umat islam. Kafanatikan “buta” terhadap salah satu mazhab dan menganggap hanya pendapat dalam mazhabnya saja yang benar menyebabkan terpecah-pecahnya umat islam kedalam pecahan-pecahan (firkah-firkah) yang terpisah satu dengan yang lain, saling bermusuhan bahkan saling cela-mencela sehingga mereka tidak lagi bersatu dan berjalan ke tujuan yang sama. Dengan mengajak seorang Muslim membebaskan diri dari kefanatikan mazhab, ia bermaksud pula mengembalikan fungsi akal pikiran ke tempat yang benar dan mempergunakannya secara baik untuk memecahkan berbagai masalah dalam hidup dan kehidupan manusia pada zamannya. Ia menyerukan kepada umat islam yang memenuhi syarat untuk berijtihad, berusaha mengkaji dan memecahkan berbagai masalah dalam masyarakat yang terus berkembang. Ia menganjurkan orang berijtihad dan menolak taqlid. Di fakultas-fakultas hukum islam syaria’ah (syariah), sekarang di adakan mata kuliah yang baru bernama perbandingan mazhab, “disana tidak hanya satu, tetapi ke empat aliran hukum yang terdapat dalam golongan Ahlus Sunnah Waljama’ah (Hanafi, maliki, syafi’i, dan Hambali) misalnya, diajarkan. Bahkan diajarkan juga aliran-aliran hukum yang ada dalam golongan Syi’ah (itsna’ Asyari atau imam dua belas Ismaili dan Zaidi). Disamping perbandingan hukum antar mazhab dalam islan ini, di bandingkan juga hukum islam dengan hukum barat dan hukum-hukum lainnya yang terdapat dan berkembang di dunia ini sebagai satu system. Dengan cara ini ruang lingkup ajaran masing-masing hukum dapat dilihat secara jelas. Demikian juga halnyajuga dengan sumber-sumber serta asas-asasnya, dapat pula dikaji secara mendalam. Justice Robert Jeckson, seorang Hakim Agaung pada Mahkamah Agung Amerika Serika menyebutkan beberapa motif yang mendorong para ahli hukum barat mempelajari hukum islam. Menurut Robert Jeckson; (1) Negara-negara barat yang gelisah itu telah menemukan dalam dunia islam sekutu (dahulu) melawan faham komunis. Selain itu, (2) pandangan dunia barat kini lebih 6Dr.Charles C. Adam. Islam And Modernism In Egypt. 1933 obyektif terhadap dunia islam, sejarah dan perbedaan-perbedaan agama. Disebutkannya pula bahwa (3) perdagangan denngan timur tengah merupakan unsur baru yang mendorong orang-orang barat mempelajari hukum dan perundang-undangan islam7. Didorong oleh apa yang telah di kemukakan di atas dan kesadaran akan pentingnya arti hukum islam bagi ilmu pengetahuan, di eropa sekarang, beberapa fakultas hukum prancis misalnya, mengajarkan hukum islam. Diantara tokohnya adalah (Edward Lambert dan )Rene david, guru besar fakultas hukum universitas paris. Yang mendorong mereka mengadakan mata kuliah tersendiri untuk hukum islam adalah kenyataan bahwa hukum islam merupakan satu di antara system-sistem hukum besar yang hidup di dunia sekarang8. D. De santilana, seorang ahli hukum terkenal bangsa italia, menyebutkan bahwa yang mendorong orang barat mempelajari hukum islam adalah karena hukum islam merupakan sumber pasti dan positif bagi prinsip-prinsip hukum-hukum eropa modern. Pendapat sarjana–sarjana barat tentang hukum islam, juga dikumandangkan dalam berbagai seminar yang di adakan khusus untuk mengkaji hukum islam. Dari pembicaraan-pembicaraan yang berlangsung selama pekan hukum islam ini, dengan nyata telah terbukti bahwa (1) perinsip-perinsip hukum islam mempunyai nilai-nilai yang tidak dapat di pertikaikan lagi dan bawha (2) berbagai ragam mazhab yang ada dalam lingkungan besar system hukum itu mengandung suatu kekayaan pemikiran hukum dan kekayaan teknik yang mengagumkan yang membicarakan kemungkinan kepada hukum ini memenuhi semua kebutuhan yang di tuntut olehkehidupan modern. Seminar paris tahun 1951 ini (3) menganjurkan juga agar di bentuk suatu panitia untuk membuat kamus huku islam yang disusun secara modern untuk memudahkan orang memperoleh keterangan-keterangan tentang pengertian-pengertian hukum islam. Sebagai penutup uraian mengenai bab ini, perlu di catat bahwa kini terdapat kecenderungan kuat dan arus yang deras di kalangan umat islam terutama di timur tengah, afrika dan Pakistan untuk kembali pada hukum islam sebagai salah satu identitasya9 . bahan-bahan hukum yang mereka pergunakan dalam menyusun kodifikasi hukum islam itu bukan hanya bahan-bahan yang terdapat di kalangan ahlus sunnah waljama’ah saja, tetapi juga dari aliran lain yang terdapat dalam semua bahan-bahan hukum itu, dan memilih dengan hati-hatipemikiran-pemikiran yang sesuai dengan kondisi dan situasi umat islam di abad ke-20 ini. Di Indonesia atas kerja sama mahkamah agung dengan departemen agama telah di kompilasikan hukum islam mengenai perkawinan, kewarisan, dan perwakafan. Kompilasi ini telah di setujui oleh para ulama dan ahli hukum islam pada bulan februari 1988 dan (tahun 199) telah diberlakukan bagi umat islam Indonesia yang menyelesaikan sengketa mereka diperadilan agama (salah satu unsur kekuasaan kehakiman di tanah air kita) sebagai hukum terapan. 7Majid Khadduri. 1955:V 8Said Rahman. Sejarah Perkembangan dan Pertumbuhan Hukum Islam. Jakarta: Gramedia. 1970 BAB III PENUTUP A. KESIMPULAN Pertumbuhan dan Perkembangan hukum islam membawa pengaruh yang besar terhadap sistem hukum di Indonesia khususnya dan didunia pada umumnya, ini dibuktikan dengan mulainya Negara-negara barat mempelajari hukum islam kerena menurut mereka islam adalah salah satu hukum yang di akui oleh dunia saat ini dan merukapan system hukum yang sempurna yang mampu memberikan rasa keadilan didalam penerepannya. Pertumbuhan dan Perkembangan hukum islam yang terjadi merupakan wujud dari keragaman berfikir didalam menyelesaikan masalah melalui metode-metode yang telah dikemukakan oleh para ahli fiqih seperti Qiyas, Ijmaq dan sebagainya. Metode yang di gunakan untuk menemukan sebuah hukum baru yang memberikan pengertian yang jelas terhadap suatu masalah yang di hadapi merupakan dampak yang di timbulkan dari proses pertumbuhan dan perkembangan hukum islam itu sendiri. Di dalam makalah yang telah penulis susun telah di uraikan bagaimana metode atau cara didalam menetapkan sebuah hukum baru yang dapat dijadikan dasar untuk menentukan sebuah hukum terhadap suatu permasalahan dan juga mengetahui bagaimana tingkatan-tingkatan kuatnya sebuah hadist yang di pergunakan sebagai dasar untuk menentukan sebuah hukum. DAFTAR PUSTAKA Muhammad Husain Haikal. (1917:55)